Penduduk Rantau Panjang pada masa lampau berasal dari pesisir pantai Pelitu,
Batu Teritip dan Pekajang. Daerah ini sekarang masuk dalam wilayah Dusun
Mentubang, Desa Harapan Mulia Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara.
Berdasarkan literatur sejarah yang ada. Kemudian dari cerita
rakyat yang berkembang dari masa ke masa. Sekitar tahun 1724 – 1824, warga
Kerajaan Tanjungpura yang berpusat di Sukadana, pindah ke Matan. Menjelang
berakhirnya masa jabatan Gusti Jakar Negara alias Sultan Muhammad Zainuddin,
dia memindahkan pusat Kerajaan Tanjungpura ke Matan.
Pindahnya pusat Kerajaan Tanjungpura ketika itu, sebab
menghidari serang perompak laut (lanun), dan serangan Sultan Agung dari
Mataram. Selama lebih kurang 100 tahun, Sukadana dan sekitarnya menjadi kota
mati. Setelah Tengku Akil datang dan menjadi Raja Sukadana, Sukadana kembali
menjadi ramai.
Selain pusat pemerintah yang berpindah ke Matan, penduduk
Tanjungpura juga ikut pindah, mencari tempat pemukiman yang aman. Yang menetap
di Tambak Rawang (Gunung Sembilan) dan sekitarnya, pindah ke Kampung Bukang,
Banjor, Kembereh. Ada yang ke Gerai (Gorai), Kalam, Simpang Dua, Balai Berkuak.
Kemudian ada yang menuju ke Balai Pinang, Semandang, Laur Kuning, Kualan dan
Banjur.
Bukan hanya warga Sukadana, Tambak Rawang dan Pelerang yang
hijrah ke hulu Sungai Simpang, menghindari perompak laut. Warga yang menetap di
Pelintu, Batu Teritip dan Pekajang pun ikut hijrah juga. Hijrahnya warga
Pelintu, Batu Teritip dan Pekajang bukan ke hulu Simpang, tapi menyusuri Sungai
Rantau Panjang.
Mereka menetap di Dungun Karu, Terus Landak, Sungai Siput dan
Terus Jawe. Dari kelompok keluarga inilah, menjadi cikal-bakal lahirnya kampung
Rantau Panjang. Yaitu desa Rantau Panjang – Kecamatan Simpang Hilir sekarang.
Hal ini terjadi sekitar tahun 1724.
Sejarah terusan Jawe, merupakan terusan galian tangan manusia.
Selain sebagai daerah pemukiman, terusan ini dibangun untuk memperpendek alur
transportasi ke hulu Sungai Rantau Panjang. Maklum, waktu itu transportasi air
menjadi andalan warga. Dengan membangun terusan, jarak tempuh yang awalnya 7
tanjung (± 5.000 meter), menjadi 500 meter saja.
Pada awal warga tersebut menetap di Rantau Panjang, pekerjaan
utama mereka berladang (menanam padi). Ada yang menanam kelapa dan tanaman
perkebunan lainnya. Mereka membangun pemukiman di tepi Sungai Rantau Panjang.
Selama puluhan tahun mereka menetap di Dungun Karu, Terus Jawe
dan Terus Landak. Sekitar tahun 1822, sebagian dari mereka memutuskan menetap
ke hilir Sungai Rantau Panjang. Kampung ini mereka sebut ‘Sungai Bagan’.
Alasannya, karena kondisi negeri sudah aman dan mendekat ke muara sungai, agar
transportasi air lebih dekat.
Sungai Bagan bermakna sungai yang menjadi tempat bermukim
sementara. Bagan ialah sinonim dari pondok, atau rumah kecil tempat bernaung
sementara. Biasanya, bangan merupakan pondok untuk tempat beristirahat setelah
bekerja. Baik bekerja di hutan, sungai, maupun di laut.
Selama berpuluh-puluh tahun warga tersebut menetap di Sungai
Bagan, kehidupan mereka aman dan tentram. Kebutuhan pangan mereka terpenuhi
dari hasil berladang. Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.
Masing-masing warga menggarap lahan, panjangnya lebih dari 1 kilo meter.
Sedangkan pemukiman mereka tetap di pinggir sungai Rantau Panjang, yaitu
Kampong Sungai Bagan.
Semakin hari, jumlah/populasi mereka semakin bertambah. Muncul
niat mereka membangun jalan poros/jalan utama. Jalan yang mereka bangun, persis
dipertangahan lahan mereka, sekitar 500 meter dari pinggir sungai. Secara
swadaya, warga Sungai Bagan membangun jalan tersebut dengan galian tangan.
Jalan pertama ini, jaraknya antara Jembatan Koperasi hingga perbatasan Dusun
Tembok Baru dengan Ampera sekarang. Yaitu, sekitar 1 kilo meter saja.
Setelah jalan selesai dikerjakan, warga Kampong Sungai Bagan
sepakat membangun pemukiman mereka di jalan baru tersebut. Mereka menyebut
jalan baru ini dengan sebutan ‘Tembok Baru’. Tembok dalam bahasa Melayu adalah
jalan. Tembok Baru, artinya Jalan Baru. Jalan ini menjadi cikal-bakal jalan
provinsi sekarang.
Seiring berjalannya waktu, Kampong Sungai Bagan berubah nama
menjadi Kampong Tembok Baru. Nama ini melekat hingga sekarang, dan menjadi nama
dusun yang ada di Rantau Panjang. Bahkan negeri jiran (Harapan Mulia) sekarang,
sebagian masih menyebut Rantau Panjang ‘Tembok Baru’.
Situs peninggalan warga Tembok Baru yang tersisa, adanya kuburan
tua, yang terletak di RT 006 Dusun Tembok Baru. Jumlah penghuni kuburan ini
lumayan banyak. Namun sayang, nisan kuburan ini telah lapuk di makan usia. Saat
ini yang tersisa hanya 2 kuburan saja. Sebab, nisan kuburan tersebut terbuat
dari kayu belian.
Tak satu pun yang mengetahui, sejak kapan pemakaman Muslim di
Dusun Tembok Baru tersebut ada. Dan tidak satu pula yang mengetahui, dari
silsilah siapa penghuni kuburan tersebut. Cerita yang berkembang di masyarakat,
kuburan tersebut merupakan kuburan warga Rantau Panjang yang pertama. Yaitu,
warga Kampong Sungai Bagan atau Kampong Tembok Baru.
Bukan hanya di Dusun Tembok Baru warga menemukan situs pemakaman
tua. Di seberang sungai Rantau Panjang, persis berhadapan dengan dusun ini,
dijumpai situs-situs kuburan tua, yang tersebar di beberapa titik. Tidak ada
yang mengetahui siapa yang dimakamkan di kuburan tersebut. Di duga, yang
dimakamkan disana, ialah warga penghuni awal Rantau Panjang.
Semakin tahun penduduk Kampong Tembok Baru semakin berkembang.
Warga yang datang dari luar kampung pun terus bertambah. Sebab, di bumi ini
berccocok tanam menghasilkan. Hasil tangkapan sungai dan laut melimpah.
Hamparan hutan dan seisinya, memberikan kehidupan buat penghuni kampung ini.
Melihat perkembangan Tembok Baru, sekitar 1835, warga yang masih
menetap di Terus Jawe dan Sungai Siput dan sekitarnya memutuskan hilir ke
Tembok Baru. Kampung tua (Terus Jawe dan Sungai Siput) mereka tinggalkan.
Mereka membangun tempat tinggal baru di Tembok Baru.
Saat itu, belum diketahui jejak kepemimpinan di Sungai Bagan
atau Tembok Baru. Sejarah yang dituturkan dari cerita masyarakat secara
turun-temurun, kepemimpinan di Rantau Panjang diketahui ada sejak 1912. Yaitu,
pada masa pemerintahan Gusti Panji alias Penembahan Suryaningrat, dengan pusat
pemerintahannya di Simpang Matan.
Sekitar 100 tahun (1724 – 1912), tidak terekam kepemimpinan di Rantau Panjang.
Hanya Endut, alias Abu Kasim, yang terekam dalam benak masyarakat Rantau
Panjang, sebagai pemeimpin pertama Rantau Panjang. Tercatat, Endut menjadi
dokuh sejak 1912. Sebelumnya, tidak diketahui secara pasti.
Cerita selanjutnya, kepemimpinan di Rantau Panjang terbagi dalam
5 masa. Masa Kerajaan (Kolonial Belanda) dan masa Kerajaan (Pendudukan Jepang).
Kemudian Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sebelumnya, bangsa ini menggunakan hukum kerajaan dan hukum
Belanda. Hukum Belanda yang mengatur tentang desa, yaitu Inlandshe Gemeente
Ordonatie voor Buittengewesten (IGOB). Berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Masa
berlaku hukum ini dari 1938 – 1942. Sedangkan untuk Jawa dan Madura, yaitu
Inlandshe Gemeente Ordonatie (IGO), berlaku sejak 1906 – 1942.
Kemudian, masa pendudukan Jepang, dasar hukum untuk tingkat
desa, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 (Osamu Seirei). Sedangkan UU
Belanda, IGO dan IGOB tetap diberlakukan Jepang.
Dasar hukum yang mengatur tentang desa yang pernah berlaku di
Indonesia, selain IGO, IGOB dan Osamu Seirei, yaitu:
1. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1948 tentang Daerah Tingkat III (Desa);
2. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1957;
3. Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, berlaku dari tahun
1965 – 1979;
4. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, penyebutan desa
diseragamkan, berlau dari 1979 – 1999;
5. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, memuat tentang
desa, berlalu dari 1999 – 2004;
6. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah;
7. Parutan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa; berlaku dari 2005 –
2014;
8. Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berikut ini pemaparan tentang pemimpin Rantau Panjang. Sejak
jaman raja-raja, kolonial Belanda, Jepang dan Pemerintah Republik Indonesia
dari masa ke masa. Dengan dasar hukum tentang desa, sebagaimana dimaksud dalam
uraian di atas.
1. Endut
Endut merupakan Kepala Kampong Tembok Baru (Rantau Panjang)
pertama. Nama sebenarnya Abu Kasim bin Muhammad Arif bin Muhammad Ata bin Abu
Thalib. Namun Abu Kasim lebih tersohor dengan nama sapaannya Endut. Masanya,
pertanian dan nelayan tangkap, menjadi mata pencarian utama warganya.
Priode kepemimpinan Endut alias Abu Kasim, yaitu tahun 1912 –
1923. Saat dia menjadi kepala kampung, masuk dalam masa transisi kekuasaan di
kerjaan, dari Gusti Panji ke Gusti Roem (1912 – 1942). Priode ini masuk dalam
masa kolonial Belanda.
Saat itu, julukan untuk pemimpin kampung, ada yang menyebutnya
dengan julukan Demong, Dokuh, atau sebutan Kepala Kampong. Julukan demong dan
dokuh/dokoh tentu melekat pada masa kerajaan ketika itu. Sedangkan kepala
kampong, lahir dari bahasa takzim warga kepada pemimpin sebuah kampong (desa)
masa lalu.
Ada peristiwa besar yang terjadi di Tanah Simpang ketika Endut
jadi dokuh. Masa itu, Gusti Panji masih menjadi Penembahan Simpang. Pada tahun
1912, terjadi Perang Belangkait (bulangkait). Perang antara Belanda dan rakyat
Simpang, yang dipimpin Ki Anjang Samad.
Riwayat lain menyebutkan, Perang Belangkait terjadi pada tahun
1910. Perang ini terjadi di daerah Belangkait, wilayah Kerajaan Simpang.
Belangkait adalah nama sejenis kayu berduri tajam. Nama asli kayunya ‘bulang’.
Disebut belangkait, karena kayu ini menjadi ranjau pada saat perang tersebut.
Bisa mengait (menjerat/menyobek) tumbuh Belanda.
Cerita orang-orang tua Rantau Panjang dulu, beberapa orang warga
Rantau Panjang terlibat dalam Perang Belangkait. Sayangnya, nama-nama tersebut
tidak terekam dalam jejak sejarah kerajaan, khususnya jejak sejarah Rantau
Panjang.
Masa Endut menjadi Kepala Kampong Tembok Baru, jalan Tembok Baru
yang awalnya sepanjang 1 kilo meter, bertambah menjadi 3 kilo meter. Ada
penambahan 2 kilo meter ke arah selatan, menuju jembatan Rantau Panjang
sekarang. Kemudian, bertambah lebih kurang 3 kilometer dari Jembatan Koperasi
menuju ke Jongbom (Sungai Simpang). Satu-satunya akses jalan yang ada di
Kampong Tembok Baru.
Sebagaian riwayat menyebutkan, sebagai perintis kelanjutan
pembangunan jalan Tembok Baru tersebut ialah Asim, yaitu mendiang ayahanda
Bujang Yuk (Penjalaan). Itu dilaksanakan pada tahun 1917. Saat itu, dari
Jembatan Koperasi menuju ke Jongbom masih hutan belantara. Pohon-pohon besar
masih berdiri kokoh.
Setelah jalan selesai dibangun secara swadaya dan manual, warga
pun merimba’ (membuka lahan) untuk berladang. Berawal dari membuat pondok untuk
berladang, lama-kelamaan berkembang menjadi pemukiman baru. Sebutan Rantau
Panjang mulai muncul dikalangan masyarakat Tembok Baru.
Abu Kasim aslinya berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dia merantau ke Kalbar dan terdampar di Tembok Baru, Rantau Panjang sekarang.
Kemudian, dia menikah dengan gadis Rantau Panjang. Karena dia menemukan
ketenangan di Rantau Panjang, dia memutuskan menetap di Negeri Rantau hingga
akhir hayatnya.
2. Bakri
Bakri merupakan Dokuh/Kepala Kampong kedua, setelah Abu Kasim.
Priode kepemimpinannya, antara tahun 1923 – 1929, selama 6 tahun. Saat dia
berkuasa, Gusti Roem adalah Raja Kerajaan Simpang.
Saat itu, pusat pemerintahan telah berpindah, dari Simpang Matan
ke Teluk Melano. Dari Gusti Panji, turun tahta ke Gusti Roem, adik kandung
Gusti Panji. Masa Gusti Panji, pusat pemerintah di Simpang Matan. Oleh adiknya
Gusti Roem, pusat pemerintahan pindah ke Teluk Melano
Selain itu, kepemimpinan Bakri masuk juga dalam masa kolonial
Belanda. Ketika itu, Belanda masih menguasai Indonesia. Di Kerajaan
Tanjungpura, markas Belanda berada jalan Tanah Merah Sukadana, yang disebut
Tengsi Militer Belanda saat ini.
Melanjutkan kepemimpinan Endut, Bakri tetap melanjutkan tradisi
kemasyarakatan Rantau Panjang. Adat budaya masyarakat terpelihara dengan baik.
Setiap tahun selalu digelar acara Nyapat Taon/Ceboh Kampong. Kemudian acara
Mandi Safar, Do’e Kasah (do’a akasah), serta kegiatan kebudayaan lainnya
terjaga dengan baik.
Pertanian menjadi pekerjaan utama masyarakat Tembok Baru.
Komoditi utamanya padi. Kemudian mengembangkan kelapa dalam, serta komodi
lainnya yang cocok ditanam/dikembangkan di tanah ini.
Dikalangan masyarakat, Bakri lebih akrab dipanggil Libak atau
Pak Unggal Ibak. Nama tersebut adalah nama timangan orang tuanya.
3. Endut
Endut, alias Abu Kasim bin Muhammad Arif bin Muhammad Ata bin
Abu Thalib, kembali didaulat menjadi Dokuh Kampong Tembok Baru (Rantau
Panjang). Pada priode pertama, Endut menjabat selama 11 tahun (1912 – 1923).
Priode kedua, Endut memimpin sekitar 15 tahun (1929 – 1943). Artinya, Endut
memimpin Rantau Panjang selama 26 tahun.
Tidak lama setelah Endut menjadi dokuh kedua, sekitar tahun
1932, datang rombongan warga Thionghua ke Rantau Panjang. Mereka menetap di
Terus Jawe – eks daerah pemukiman warga Sungai Bagan (Tembok Baru).
Pekerjaannya, berladang dan membudidayakan kepala.
Di priode kedua, kepemimpinan Endut masuk dalam dua masa. Masa
Kolonial Belanda dan masa Pendudukan Jepang. Jepang masuk ke Indonesia pada
tahun 1942, karena berhasil menaklukan Belanda tahun 1942. Pada tahun 1943,
Jepang sudah bercokol di Tanah Simpang atau Kerajaan Tanjungpura. Ketika itu,
yang menjadi raja Simpang, yaitu Penembahan Gusti Mesir (1942 – 1943).
Masa Jepang, penduduk Indonesia benar-benar menderita.
Penderitaan itu juga dirasakan penghuni Rantau Panjang. Kehidupan yang tenang
berubah mencekam. Ketersedian pangan dan sembako semula ada, menjadi krisis.
Pesawat Jepang sering lalu-lalang di langit Kerajaan Simpang dan Sukadana.
Di Tanah Kayong, Jepang bermaskas di Sukadana, di Tengsi Militer
Belanda. Sesekali, kempetai (tentara) Jepang turun ke lapangan, menindas dan
merampas hak-hak rakyat. Memperkosa gadis-gadis pribumi yang tak berdosa.
Masa itu, masyarakat Rantau Panjang kesulitan pangan dan
pakaian. Penduduk mengkonsumsi ubi, sagu, gadung dan lainnya, sebagai pengganti
beras. Beras sulit di dapat. Petani tidak bisa berladang karena takut. Jika
warga memiliki beras, ketahuan Jepang akan dirampas.
Garam, minyak tanah dan kebutuhan pokok lainnya sulit di dapat.
Sehingga warga membuat garam dari nipah. Untuk penerangan pada malam hari,
warga menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya. Untuk mendapatkan gula,
warga mengolah nira kelapa/enau sebagai gula alternatif.
Banyak penduduk pribumi (Kayong) yang memakai celana goni dan
baju kepuak. Atau menggunakan serat kayu, yang diolah menjadi pakaian. Jika ada
warga yang menjual pakaian, beras, minyak, tembakau dan lainnya, ketahuan
Jepang bisa ditangkap dan disiksa.
Seperti kisah Bujang Kerepek alias Bujang Ramli, ayahanda Abu
Kasim Bar yang ditangkap Jepang. Bujang Kerepek dan ratusan orang Kayong
lainnya, ditangkap dan dibunuh Jepang di Mandor (Landak) 1944. Bujang Kerepek
ditangkap, karena dia menyediakan kebutuhan pokok masyarakat. Saat dia
ditangkap, yang menjadi Dokuh Tembok Baru Haji Achmad.
Di tahun 1943, Jepang pernah mengebom Pasar Teluk Melano dengan
pesawat tempurnya. Ketika itu, pasar Melano masih di pinggir Sungai Simpang.
Tujuan Jepang, menciptakan ketakutan (teror) kepada penduduk Simpang, dan
Tanjungpura umumnya. Peristiwa ini diabadikan masyarakat Rantau Panjang, dalam
nama suatu kawasan perbatasan dengan Desa Teluk Melano, yaitu Jongbom.
Jongbom bermakna ‘Jong (ujong) dan Bom’ atau ujung yang pernah
di bom (Jepang). Disebut ujong (ujung), karena bentuk tanjung/daratan paling
utara di Rantau Panjang ini lancip seperti ujung sesuatu. Sekarang, Jongbom persis
terletak di RT 001 RW 001 Dusun Sepakat Jaya, Desa Rantau Panjang.
Sebagai peletak dasar kepemimpinan Rantau Panjang, Endut tetap
meneruskan visi misi pertamanya. Dia ingin Rantau Panjang semakin maju dari
segala aspek, dengan tidak meninggalkan kearifan yang ada. Namun, tantangan
Endut di priode ini sangat berat. Fasisme Jepang, menjadi penghambat utamanya.
Sekitar tahun 1940-an, dibawah kepemimpinan Endut, warga membuka
areal pertanian baru. Membangun jalan baru, yang saat ini dikenal dengan nama
‘Parit/Jalan Parit Timur’. Saat itu, panjang jalan galian warga tersebut, sekitar
2 kilo meter saja.
Sebagai komandan pembukaan pertama Parit Timur, yaitu Murad. Dia
merupakan kakeknya Salim Tamura, atau buyutnya Hasanan – Kepala Desa Rantau
Panjang priode 2018 – 2024.
Saat itu, Murad dipercaya sebagai Kepala Parit, yaitu orang yang
bertanggung jawab terhadap pembangunan jalan dan kebersihan parit. Tidak bisa
sembarangan orang menjadi kepala parit. Harus orang yang berpengaruh dan
disegani warga.
Gotong royong adalah cara terbaik warga dalam membangun
kampungnya. Seperti membangun jalan, setiap kepala keluarga akan diberi
batas/kaplingan galian. Setiap ukuran kaplingan, lebarnya 1,5 depa (sekitar 2
meter), dan panjang 30 depa (sekitar 50 meter).
Seperti biasa, pada ada awal pembukaan lahan, warga
manfaatkannya untuk berladang. Mereka membangun pondak/tempat menginap
sementara, dan membangun langkau (lumbung padi) untuk menyimpan padi.
Lama-kelamaan mereka menetap. Kemudian, Parit Timur menjadi daerah pemukiman
baru.
Biasanya, setelah lahan kering karena pengauruh parit, warga
menanam tanaman tahunan (karet, kelapa, kopi dan sebagainya), serta tanaman
semusim lainnya. Kemudian, mereka mencari atau mengembangkan lokasi berladang
baru, yang masih basah.
Di tahun yang sama (1940-an), warga Thionghua yang menetap di
Terus Jawe, sebagian pindah ke Sungai Semut. Sebagian pindah ke hilir sungai
Rantau Panjang. Mereka membuka areal bermukiman baru, tepatnya di Terus Landak
sekarang.
Pindahnya warga Thionghua ke Sungai Semut dan Terus Landak,
akibat tidak mampu dengan gangguan hama babi. Kebun dan ladang mereka dirusak
babi, membuat mereka putus asa bertahan di Terus Jawe.
Awal kedatangan warga Thionghua ke Terus Landak berladang.
Kemudian membangun pemukiman. Setelah lahan kering, mereka menanam kelapa,
karet dan tanaman lainnya. Ada juga diantaranya menjadi nelayan tangkap, baik
di sungai maupun laut.
Jalan awal Terus Landak yang di bangun warga Thionghua, titik
nolnya, yaitu mulai dari gerbang masuk depan gereja (GKNI) Rantau Panjang,
belok kiri menuju jalan Ampera. Panjangnya sekitar 1,5 kilo meter. Daerah ini,
dari sejak dibangun hingga sekarang, menjadi daerah pemukiman warga Thionghua.
4. Haji Achmad
Setalah Endut mangkat dari Dokuh Tembok Baru, Haji Achmad
menempati Dokuh Tembok Baru selanjutnya. Haji Achmad mejadi dokuh selama 6
tahun, yaitu dari 1943 – 1949.
Sebagai pewaris tahta Endut, priode kepemimpinan Achmad
tergolong priode yang yang sulit. Masa ini, Jepang masih bercokol di Kalimantan
Barat, khususnya di wilayah Kerajaan Simpang. Setelah 1945, atau sekitar 2
tahun dia menjabat dokuh, secara resmi Jepang meninggalkan Indonesia.
Setelah Jepang meninggalkan Indonesia karena kalah perang dengan
Sekutu, rakyat Indonesia kembali tentram. Sejarah mencatat, Jepang lebih kejam
dari Belanda dan bangsa-bangsa penjajah lain. Di Kalimantan Barat, ribuan nyawa
melayang di pancung Jepang. Korban tersebut terdiri dari kalang bangsawan, kaum
cendikia, feodal dan rakyat jelata.
Di Tanah Simpang, tahun 1943, kempetai Jepang menangkap Gusti
Roem (Penembahan Tua), Gusti Mesir (Penembahan Simpang). Kemudian Gusti Umar
(Menteri Polisi), Gusti Tawi (Menteri tani), Tengku Ajong, Dolah (sopir
penembahan) dan Bujang Kerepek. Dari keluarga Kerajaan Sukadana yang ditangkap
Jepang, yaitu Penembahan Tengku Idris alias Tengku Betung. Masih banyak lagi
penduduk Kayong, yang menjadi korban kebiadaban Jepang.
Penangkapan Bujang Kerepek dan kerabat kerajaan tersebut,
membuat warga semakin dihantui rasa ketakutan. Warga tidak bisa bergerek bebas.
Bekerja takut, tidak bekerja tidak makan. Sebagai dokuh, Achmad tidak bisa berbuat
banyak.
Setelah pendiri bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945. Ternyata, Belanda masih menyimpan ambisi besar untuk menguasai
Indonesia, dengan melancarkan agresi-agresinya. Agresi tersebut tidak terlalu
berpengaruh bagi penduduk Rantau Panjang khususnya. Namun, suka cita menyambut
kemerdekaan, dirasakan seluruh penduduk Tanah Simpang.
Pasca kekalahan Jepang dan Indonesia dinyatakan merdeka, di
Kalbar muncul gerakan-gerakan balas dendam terdahap Jepang. Balas dendam akibat
kematian raja-raja dan rakyat jelata. Melayu dan Dayak bersatu, mencari
kempetai-kempetai Jepang yang tersisa. Jika ketemu, mereka langsung bunuhnya.
Gerakan di Simpang dipimpin oleh Gusti Legat – anak Penembahan
Gusti Panji. Dari Simpang Dua, Gusti Lengat membawa 30 pasukan berkepala
burung. Gerakan ini dikenal dengan ‘Gerakan Kepala Burung’. Mereka menyisir
daerah-daerah yang dicurigai, mencari pelarian Jepang hingga ke Sukadana. Tidak
ketinggalan, warga dari Rantau Panjang ikut bergabung dengan pasukan Gusti
Legat, mencari kempetai Jepang yang tersisa.
Tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia. Indonesia
kembali kondusif, termasuk Tanah Simpang. Dengan kondisi Tanah Simpang yang
kondusif, sebagai Dokuh Tembok Baru (Rantau Panjang), Achmad lebih leluasa
menjalankan kiprahnya. Namun sayang, di tahun ini, dia meletakan jabatannya
sebagai dokuh.
5. Haji Abochri
Haji Abochri bin Haji Abdullah, pada bulan Juni 1949, dia
dinobatkan menjadi Kepala Kampong Rantau Panjang, menggantikan Haji Achmad.
Masa kepemimpinannya tidak lama, sekitar 5 bulan saja. Tepatnya, terhitung
sejak Juni 1949 hingga November 1949.
Pendeknya masa kepimpinan Bochri, nama akrabnya, karena dia
ditetapkan sebagai pegawai perikanan. Karena tugas negara, dengan kerendahan
hati Bochri meletakan jabatannya sebagai Dokuh Rantau Panjang.
Kendati pendek, Bochri telah menorehkan sejarah dan meletakan
dasar kepemimpinan, melanjutkan kepemimpinan sebelumnya. Membangun pondasi
masyarakat dengan landasan agama, menjadi misi utamanya. Sayangnya, masa itu
terlalu singkat buat masyarakat Rantau Panjang. Namun demikian, itu sangat
membekas di hati masyarakat.
6. Zulkipli
Zulkipli tergolong lama menjadi pemimpin Rantau Panjang,
menggantikan Haji Abochri, yaitu selama 31 tahun. Masa kepemimpinannya, sejak
Nopember 1949 – 1980.
Rantau Panjang bukanlah tempat kelahiran Zulkipli. Dia berasal
dari Semanai, Desa Simpang Tiga Kecamatan Sukadana. Dia menikah dengan gadis
Rantau Panjang, kemudian menetap disini hingga akhir hayatnya.
Sekitar 1996, satu-satunya rumah panggung yang paling tinggi di
Rantau Panjang masih berdiri kokoh. Tinggi tongkat rumah ini lebih dari 2
meter, atau mencapai 3 meter dari tanah. Di kolong rumah ini bisa menjadi
tempat menumbuk padi, tepung dan sebagainya. Rumah ini peninggalan Zulkipli.
Setelah 1996, oleh ahli waris rumah tersebut dibongkar.
Karena kelebihan yang dimiliki Zulkipli, tahun 1949 dinobatkan
menjadi Kepala Kampong Rantau Panjang. Riwayat lain menyebutkan, tahun 1952
secara resmi Tembok Baru berubah nama menjadi Kampong Rantau Panjang. Kemudian
Zulkipli ditetapkan sebagai pemimpin pertama Rantau Panjang, yang berjuluk
Kepala Kampong.
Nama Rantau Panjang bermakna “Perjalanan Panjang”. Nama ini
disepakati, berdasarkan sejarah panjang perjalanan penduduk asal Rantau
Panjang. Berawal dari perantau Pelintu, Batu Teritip, Pekajang dan perantau
dari daerah lain. Kemudian menetap di Dugun Karu, Terus Landak dan Terus Jawe.
Terakhir mereka menetap di Sungai Bagan, yang kemudian berubah nama menjadi
Kampong Tembok Baru. Perjalanan perantau yang panjang tersebut, menginspirasi
pendiri negeri ini memberi nama Rantau Panjang.
Era 1940-an – 1960-an, Rantau Panjang menjadi tempat
persinggahan dan menetapnya para perantau. Perantau dari Sulawesi (Bugis),
Banjar, Jawa, Madura dan perantau dari daerah lainnya. Bahkan ada perantau yang
asli datang dari daratan China.
Yang dominan, ialah perantau dari Bugis dan Banjar. Sehingga
adat istiadat etnis Bugis dan Banjar melekat hingga sekarang pada warga Rantau
Panjang. Ada yang datang rombongan dengan keluarga, ada yang datang merantau
sendiri. Perkawinan dengan penduduk pribumi, melahirkan kebudayaan baru bagi
penghuni Rantau Panjang.
Seperti yang terjadi di tahun 1958, datang rombongan perantau
dari Bugis. sebelumnya mereka menetap di sekitar Semanai. Dari Semanai, mereka
pindah dan menetap di Parit Timur, membuka lahan untuk berladang.
Kehadiran perantau yang menatap di Rantau Panjang tersebut,
menginspirasi pendiri desa ini menamankan kampungnya Rantau Panjang. Selain bermakna
‘perjalanan panjang’, juga bermakna ‘kampungnya para perantau jauh (panjang)’.
Pada tahun 1950, pemimpin setingkat kecamatan yang bergelar
Demang, yaitu Tengku Ismail mengagas meneruskan pembangunan jalan di Parit
Timur. Kemudian, pembangunan tersebut dilanjutkan pada tahun 1958, bersama
masuknya warga Bugis ke Parit Timur. Zulkipli sebagai Kepala Kampong pun terjun
langsung, dan ikut berladang juga di Parit Timur.
Saat melanjutkan pembangunan Jalan Parit Timur, sebagai kepala
paritnya, yaitu Gudang alias Pak Ude Gudang. Dia bertanggung jawab terhadapan
pembangunan dan kebersihan parit dan jalan – Parit Timur. Semula, panjang jalan
Parit Timur sekitar 2 kilo meter saja, bertambah menjadi 4 kilo meter.
Tahun 1961, warga Rantau Panjang membuka jalan untuk lokasi
perladangan baru. Jalan tersebut sekarang dikenal dengan Jalan Ampera.
Disepakati, pembukaan jalan tersebut antara batas tanah Menan dan Amha. Menan
dan Amha saudara kandung, anak kandung dari Abu Kasim (Endut) bin Muhammad Arif
bin Muhammad Ata bin Abu Thalib.
Yang pertama kali menggali Jalan Ampera, yaitu Kudus, Saleh,
serta 2 orang warga asal Madura: Siman dan Ahmad. Upah penggalian jalan
tersebut, 1 gantang padi per depa maju. Lebar galiannya 1,5 depa (2 meter), dan
panjang 625 depa (1.000 meter).
Mengutip keterangan Ahmad, saksi dan pelaku utama yang masih
hidup saat ini. Sebelum melaksanakan pekerjaan awal, Menan, Amha, Resin, Kudus,
Saleh, Siman, Ahmad dan sejumlah warga lainnya berembuk. Resin bertanya, “Hasil
galian (badan jalan) tersebut dibuang kemana?” Jawab Ahma, “Dibuang ke Anjang
Menan-lah!” Setelah sepakat, 4 orang pekerja pun mulai melakukan penggalian
Jalan Ampera.
Resin bin Haji Achmad (anak mantan Kepala Kampung keempat),
pernah menjadi Kepala Dusun Ampera. Dia menjadi kepala dusun pada masa
kepemimpinan pertama Abu Kasim Bar (1982 – 1990).
Tahun 1962, pembangunan Jalan Ampera dilanjutkan. Sebagai kepala
parit yang memimpin pembangunannya, yaitu Menan. Setiap kepala keluarga
dikapling panjang antara 30 – 50 meter, dan lebar 2 meter. Semula panjang Jalan
Ampera hanya 1.000 meter, bertambah menjadi sekitar 3.000 meter.
Ketika itu, belum ada nama Jalan Ampera. Pemberian nama resmi
Jalan Ampera sekitar tahun 1970-an. Menurut riwayat, yang memberi nama Jalan
Ampera tersebut Salim Tamura. Merupakan hasil kesepakatan rembuk Salim Tamura,
Resin dan warga Ampera lainnya.
Ampera, adalah akronim (singkatan) dari Amanat Penderitaan
Rakyat. Selain merujuk pada sejarah nasional bangsa ini, penamaan Jalan Ampera
juga merunut pada krolonolgi sejarah pembangunan jalannya. Banyak tantangan
yang terjadi dalam membangun Jalan Ampera.
Di tahun yang sama (1962), selain melanjutkan pembangunan Jalan
Ampera, warga juga bergotong royong melanjutkan pembangunan Jalan Terus Landak.
Titik pangkal pembangunan dimulai dari simpang menuju ke Jalan Ampera, maju
sekitar 200 meter ke arah timur. Kemudian berbelok ke arah selatan – menuju
Sungai Rantau Panjang.
Ada pula catatan riwayat penting yang terjadi di masa
kepemimpinan Zulkipli. Sekitar tahun 1965 – 1968, Rantau Panjang sempat
berstatus sebagai kelurahan. Saat itu, sebuatan dokuh/kepala kampong (kampung)
berubah menjadi lurah. Karena itu, sebutan lurah tersebut kepada kepala desa,
melekat hingga saat ini dikalangan masyarakat.
Pada tahun 1965, status Negeri Perantau ini berubah menjadi desa
(desapraja). Zulkipli tetap sebagai pemimpinnya hingga tahun 1980. Dia tercatat
sebagai pertama Rantau Panjang yang berjuluk Lurah/Kepala Kampong (1965 –
1980). Artinya, status Zulkipli sebelumnya sebagai Dokuh (1949 – 1952), Kepala
Kampong (1952 – 1965), Lurah (1965 – 1968), berubah kembali menjadi Kepala
Kampong (1968 – 1980).
Sebutan desa atau kelurahan (desapraja) ketika itu, mungkin
terkait erat dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
Sehingga, sebutan kepala kampong atau lurah tetap melekat di lidah masyarakat
Rantau Panjang hingga kini.
Catatan lain (manuskrip) Abas Hasibuan, dia mengutip keterangan
dari mendiang Zulkipli, bahwa pada tahun 1980 – 1982 merupakan masa transisi.
Maksudnya, terjadi kekosongan pemimpin definitif di Rantau Panjang selama 2
tahun. Yang menempati posisi sementara sebagai pemimpin, seorang kebayan
(sekretaris desa sekarang), yaitu Abu Kasim Bar (1978 – 1980).
Sebelum Abu Kasim Bar menjabat kebayan Zulkipli, terlebih dahulu
dijabat oleh Ya’kub (1950 – 1978). Ya’kub adalah ayah kandung Haji Salim Ya’kub
– Imam Masjid Jami’ Babul Hasanah, Imam Besar Rantau Panjang sekarang.
Abas Hasibuan merupakan cucu Endut alias Abu Kasim. Nasabnya,
yaitu Abas Hasibuan bin Amha bin Abu Kasim (Endut) bin Muhammad Arif bin
Muhammad Ata bin Abu Thalib. Dia mewarisi cerita sejarah kepemimpinan Rantau
Panjang dari Zulkipli. Kemudian mencatatnya dalam catatan pribadinya.
Di masa kepemimpinan Zulkipli, bukan hanya bertani/berkebun yang
menjadi pekerjaan pokok masyarakat. Nelayan tangkap pun menjadi mata pencarian
warga. Alat tangkap yang digunakan warga, alat tangkap tradisional. Misalnya,
seperti jermal, belat, pukat, rawai, jala, bubu, pancing dan alat tangkap
tradisional lainnya.
Hutan juga menjadi sumber mata pencarian warga, terutama kayu
dan rotan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, dalam mengolah kayu, warga
masih menggunakan alat tradisional. Kapak, gergaji panjang, parang dan alat
tradisional lainnya.
7. Abu Kasim Bar
Abu Kasim Bar adalah anak kadung Bujang Kerepek alias Bujang
Ramli. Dia tergolong anak pejuang, yang menjadi korban kebiadaban Jepang.
Ayahandanya ditangkap Jepang tahun 1943. Menurut riwayat, dia dan warga Kalbar
lainnya dibunuh Jepang (dipancung) pada tahun 1944, di Mandor Kabupaten Landak.
Abu Kasim Bar lahir sekitar tahun 1930. Usia belasan tahun, Abu
sapaanya, sudah menjadi anak yatim. Sebab ayahandanya menjadi korban fasisme
Jepang. Dia anak sulung dari 5 bersaudara. Mewarisi bakat ayahnya, Abu muda sudah
memiliki bakat kepemimpinan.
Sebelum menjadi kepala desa, Abu Kasim Bar sempat menjadi
kebayannya Zulkipli. Tahun 1980, masa bhakti Zulkipli sebagai kepala kampong
berakhir. Dia sempat menjadi semacam Penjabat Kepala Kampong selam 2 tahun
(1980 – 1982). Tahun 1978 – 1980 dia menjadi kebayan.
Pada tahun 1982 diadakan pemilihan kepala desa pertama kali,
alhasil Abu Kasim Bar terpilih sebagai Kepala Desa Rantau Panjang pertama,
priode 1982 – 1990. Pemimpin yang dipilih langsung masyarakat. Pemilihan ini sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa. Kala itu, 1 priode
masa jabatan kepala desa 8 tahun, dan hanya bisa menjabat selama 2 priode.
Waktu itu, Rantau Panjang terbagi 4 wilayah dusun, 12 RT dan 4
RW. Dusun-dusun tersebut terdiri dari Sepakat Jaya, Tembok Baru, Ampera dan
Makmur. Setiap dusun teridiri dari 1 orang Kepala Dusun, 3 Ketua RT, dan 3
orang Ketua RW.
Dusun Sepakat Jaya terdiri dari RT 01, RT 02 dan RT 03, masuk
dalam binaan RW I. Dusun Tembok Baru terdiri dari RT 04, RT 05 dan RT 06, masuk
wilayah binaan RW II. Dusun Ampera terdiri dari RT 07, RT 08 dan RT 09, masuk
wilayah binaan RW III. Serta Dusun Makmur terdiri dari RT 10, RT 11 dan RT 12,
masuk wilayah binaan RW IV.
Pada tahun 1986 terjadi kebakaran besar di Rantau Panjang.
Tragedi ini merupakan tantang tersendiri buat Abu. Kepemimpinannya sedang
diuji. Akibat kebakaran lahan dan hutan, wabah penyakit menjangkiti
masyarakatnya, seperti cacar, kolera, dan muntaber. Selain itu, jenis penyakit
kulit juga menjangkiti warga yang dipimpin Abu Kasim Bar.
Tahun 1991, kembali terjadi kebakaran besar di Rantau Panjang.
Ribuan hektar lahan dan hutan terbakar, akibat kemarau panjang lebih dari 3
bulan. Masyarakat Rantau Panjang kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk
memenuhi kebutuhan air bersih, warga harus bersampan ke Harapan Mulia,
mengambil air di Sungai Mulie. Atau menggunakan lereng (sepeda) ke Mentubang,
pergi mandi, nyuci pakaian dan mengambil air bersih untuk minum.
Tahun 1990/1991, Jembatan Rantau Panjang di bangun. Tahun
1992/1993 Jembatan Teluk Melano pun di bangun. Sebelumnya, sekitar tahun
1940-an penyeberangan menggunakan ponton kayu belian. Tercatat, tentara Jepang
(1943), ketika membawa rombongan rakyat Tanjungpura yang ditangkapnya,
menggunakan truk.
Cerita orang-orang tua, truk Jepang tersebut membawa tawanannya,
dari Ketapang melintasi jalan Rantau Panjang. Jumlahnya sekitar 3 buah. Kondisi
para tawanan di truk tersebut dengan tangan diikat, dan kepala bersungkup
(tertutup) karung. Di Teluk Melano telah menunggu motor cabang milik Jepang.
Tawanan tersebut dinaikan ke motor, kemudian dibawa ke Mandor.
Sekitar tahun 1980-an, ponton kayu belian penyeberangan Sungai
Rantau Panjang, berganti ponton besi. Orang-orang menyebut tempat ini
‘penambang/penambangan’, alias tempat penyeberangan. Mungkin diambil dari kata
tambang (tali) besar yang digunakan untuk mengerakan ponton.
Demikian juga dengan penyeberangan antara Rantau Panjang dan
Teluk Melano. Dari tahun 1912 – 1993, warga menyeberangan menggunakan sampan.
Tahun 1940-an, ponton sudah tersedia untuk penyebarang ke Melano. Sesekali
ponton digunakan, jika ada mobil yang ingin menyeberang ke Melano. Kadang mobil
cukup mangkal di Jongbom, dan pemilik mobil menyeberang menggunakan sampan.
Tantang menyeberang di Sungai Simpang bagi pendayung dan
penumpang, yaitu gelombang dan arus. Musim angin kencang, sungai bergelombang,
membuat penumpang sebagian cemas. Saat air pasang/surut, maka sampan akan jauh
hanyut dari titik yang dituju.
Sekitar tahun 1987/1988, pemerintah membangun jembatan Rantau
Panjang. Bahan bangunan jembatan ini semua dari kayu belian, dengan ukuran
tiang/tongkatnya 20 x 20 meter. Setalah jembatan selesai di bangun, bus
penumpang pun mulai masuk Rantau Panjang.
Waktu itu, kondisi jalan masih belum beraspal, masih tanah
hitam. Jalan Rantau Panjang mirip jalan 2 jalur, karena di tengah-tengah jalan
ditumbuhi rumput. Saat bus dan mobil lain masuk Rantau Panjang, mangkalnya di
Jongbom. Sebab jembatan Teluk Melano belum di bangun.
Kehadiran bus tersebut, membuat anak-anak usia SD/SMP sepu’
(terheran-heran). Banyak yang bergerantungkan di belangkang bus, karena ingin
naiknya. Kebutulan jalan bus tidak bisa bergerak laju, karena kondisi jalannya
yang sempit dan sebagian rusak.
Tahun 1990, barulah di bangun jembatan rangka baja di Sungai
Rantau Panjang, selesai tahun 1991. Tahun 1991/1992 membangun jembatan Teluk
Melano, selesai tahun 1993.
Tahun 1991, jaringan listrik (PLN) mulai masuk Rantau Panjang.
Secara bertahap, rumah warga yang sebelumnya menggunakan pelita, lentera atau
petromaks, berubah dengan cahaya dari mesin PLN Ketapang.
Tahun 1993/1994, ruas jalan provinsi, khususnya dari Sukadana –
Teluk Batang di bangun pemerintah. Terbangunya jalan ini, membuat hubungan ke
Teluk Batang dan Ketapang semakin lancar. Sebelumnya, pergi Ketapang dengan
menggunakan sepeda, memakan waktu berhari-hari. Sekarang, bersepeda 1 hari bisa
sampai.
Sekitar 1994/1995, jaringan air bersih di Rantau Panjang mulai
di bangun. Dengan sumber air dari Lubuk Tapah – Mentubang, Desa Harapan Mulia.
Sejak itu, kebutuhan air bersih Rantau Panjang terpenuhi. Setiap bulan warga
bersedia membayar tagihan penggunaan air ke PDAM Ketapang, sesuai kilo meter
pemakaiannya. Namun, sejak 2005 hingga sekarang, leding Rantau Panjang mulai
macet. Penagihan dari PDAM pun padam.
Sekitar 1997, warga Parit Timur dan warga Rantau Panjang
lainnya, membuka lahan perladangan baru di Sebarat. Awalnya, mereka menuju ke
Sebarat melalui jalur sungai (Rantau Panjang). Menggunakan sampan atau motor
air. Jika menggunakan sampan, memakan waktu sekitar 1 hari. Muncul ide
membangun jalan, untuk memperpendek jarak tempuh, dan menghemat waktu.
Mulailah warga bergotong royong membangun jalan menuju ke
Sebarat, menyambung ujung Jalan Parit Timur. Sayang, ada beberapa titik jalan
tersebut sulit dibangun sempurna. Sebab, hasil galiannya bukan tanah, tapi
tumpukan bahan organik/gambut. Sehingga warga harus memasang alas kayu untuk
berpijak.
Sempat bertahun-tahun warga berladang di Sebarat. Hasil panen
padinya lumayan banyak, sebagai persedian pangan bagi masyarakat. Karena sering
dilanda banjir, membuat warga enggan melanjutkan beladang di Sebarat. Mereka
mencari tempat perladangan baru yang aman.
Antara 1997 – 2001, jika warga ingin ke Sebarat, melalui ujung
Jalan Parit Timur – Tersier 9 sekarang. Saat ini, posisi Sebarat persis di
ujung Tersier 8. Artinya, rintisan warga menuju Sebarat dulu, serong ke arah
tenggara.
Ketika Abu menjadi Kepala Desa priode pertama, Sekretaris Desa
dijabat oleh Beransyah. Memasuki pemilihan kepala desa priode kedua, Beransyah
menjadi rival Abu Kasim Bar dalam pemilihan tersebut. Alhasil, Abu Kasim Bar
terpilih kembali menjadi Kepala Desa Rantau Panjang Priode 1990 – 1998.
Sedangkan Beransyah, pensiun dari jabatan perangkat desa.
Di priode kedua kepemimpinan Abu Kasim Bar, yang menjadi
Sekretaris Desa ialah Hamsyah Syahran. Sedangkan jumlah dusun, RT dan RW tidak
berubah. Yang berubah, jabatan aparatur yang menempati jabatan yang ada.
Abu Kasim Bar terkenal dengan ketegasannya dalam memimpin. Dia
termasuk pemimpin yang disegani di Kabupaten Katapang ketika itu. Seorang
orator hebat, yang mampu membuat audien terkesima mendengarnya.
Karena usia dan dibatasi Undang-Udang, tahun 1998 dia mengakhiri
priode kepemimpinannya di Rantau Panjang. Saat itu, priode kepemimpinan kepala
desa tidak boleh lebih dari 2 priode. Dan dia menjadi kepala desa selama 16
tahun, dari 1982 – 1998.
8. Hamsyah Syahran
Berbekalan pengalamannya sebagai sekretaris desa. Kemudian,
karena tingginya dorongan masyarakat dan kelompok pemuda kepadanya. Tahun 1998,
Hamsyah Syahran pun maju, mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Desa Rantau
Panjang Priode 1998 – 2006.
Haji Alhusaini bin Abu Kasim Bar bin Bujang Ramli, merupa rival
(lawan politik) Hamsyah dalam pilkades masa itu. Pertarungan 2 saudara sepupu
dan putra terbaik Rantau Panjang ini, dimenangkan Hamsyah Syahran .
Tahun ini, tepatnya Mei 1998, merupakan togak sejarah baru bagi
Indonesia. Gelombang gerakan mahasiswa di Indonesia bergelora, menyuarakan
reformasi. Tuntuntannya, menurunkan Presiden Soeharto, mengahapuskan Korupsi,
Kolusi dan Nipotisme (KKN), serta tuntutan lainnya.
Sebelumnya, tahun 1997 terjadi krisis moneter nasional. Lapangan
pekerjaan susah, PHK dan pengangguran dimana-mana. Daya beli masyarakat
menurun. Kondisi inilah mendorong mahasiswa melakukan demontrasi besar-besar
1998, menuntut lengsernya Soeharto.
Gerakan reformasi mahasiswa tersebut, berdampak langsung kepada
gerakan-gerakan yang ada di pelosok tanah air. Termasuk berpengaruh terhadap
perhelatan Pemilihan Kepela Desa (Pilkades) Rantau Panjang 1998 – 2006.
Setelah terpilih, Hamsyah langsung membentuk perangkat kerja
Pemerintah Desa Rantau Panjang. Pada priode ini, jumlah dusun, RT dan RW tidak
berubah. Kemudian dia menunjuk pembantu utamanya – Akhyani sebagai Sekretaris
Desa.
Di tahun kedua kepemimpinan Hamsyah, tepatnya tahun 2000,
terjadi bencana puting beliung di Dusun Makmur (Parit Timur). Belasan rumah
warga rusak ringan dan sedang. Menyikapi ini, Hamsyah mengusulkan bantuan ke
Dinas Sosial Ketapang. Hasilnya, bantuan untuk korban bencana puting beliung
pun dikucurkan dinas.
Kemudian Hamsyah mengagas pengusulan pembangunan kawasan transmigrasi.
Ide ini telah ada pada masa kepemimpinan Abu Kasim Bar. Namun, hingga akhir
jabatan Abu Kasim, keinginannya belum terwujud.
Untuk mendukung pembangunan kawasan transmigrasi tersebut,
segala persyaratannya harus dilengkapi. Mulailah pemerintah desa melakukan
sosialisasi kepada warga. Meminta dukungan tertulis, dan meminta agar warga
menyerehkan tanahnya secara sukarela. Khususnya warga yang memiliki tanah di
ujung wilayah Dusun Makmur dan Dusun Ampera.
Setelah kelengkapan administrasi terpenuhi, disampaikan ke Dinas
Transmigrasi Ketapang. Kemudian dinas menindaklanjuti ke departemen yang
membindangi transmigrasi. Hasilnya, tahun 2002, Bupati Ketapang Haji Morkes
Effendi secara simbolik resmi membuka pembangunan Kawasan Transmigrasi S.P. 1
Rantau Panjang.
Tahun 2003, rombong tahap 1 transmigras asal Jawa Tengah mulai
datang, menempati Tersier 8, 9 dan 10. Kemudian menyusul pada tahun berikutnya,
mengisi mulai dari Tersier 1 – 3 A/B, serta Tersier 4, 5, 6 dan 7.
Selain Transmigrasi Penduduk Asal (TPA) dari Jawa, sekitar 40%
disisipkan Transmigrasi Penduduk Setempat (TPS). Dengan demikian, pembauran
antar etnis dn latar belakang yang berbeda, menghasilkan kebudayaan dan
pengalaman baru bagi TPA dan TPS. Jumlah total transmigras S.P. 1 yaitu 430 KK.
Tahun 2006, Desa Rantau Panjang kembali akan menggelar Pilkades.
Mengingat masa jabatan Hamsyah 1998 – 2006 (8 tahun) akan berakhir. Setelah
panitia melakukan penjaringan dan penyaringan calon, hasilnya diumumkan 4 calon
yang akan bertarung di Pilkades 2006 – 2012.
Nama-nama Calon Kepala Desa Priode 2006 – 2012 yaitu Hamsyah
Syahran, Hasanan, Muhammad Fathoni dan A. Japar. Hasil pemilihan, Hamsyah
(petahana) sebagai juara pertama (pemenang). Kemudian menyusul Hasanan,
Muhammad Fathoni dan terakhir A. Japar.
Di priode kedua ini, masa jabatan Hamsyah tidak 8 tahun lagi,
tapi hanya 6 tahun saja. Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku. Yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Setelah dilantik menjadi Kepala Desa Rantau Panjang priode
kedua, kembali Hamsyah mengusulkan pembangunan kawasan transmigrasi di Rantau
Panjang. Daerah yang disulkan, yaitu wilayah pedalaman Dusun Ampera, berbatasan
dengan Transmigrasi S.P. 1. Sekarang, kawasan tersebut mekar dari Dusun Ampera,
menjadi Dusun Siput Lestari.
Di bangun tahun 2007, tahun 2008 rombongan TPA asal Jawa pun
datang dan menempati Kawasan Transmigrasi S.P. 2 Rantau Panjang. Selain TPA, di
bangun dan ditempatkan pula TPS, yang terletak di jalur Jalan Ampera dan Jalan
Subsidi. Jumlah total transmigrasi S.P. 2 yaitu 150 KK.
Tahun 2008, terjadi bencana banjir besar di Rantau Panjang.
Banjir ini disebabkan meluapnya air laut secara tiba-tiba. Sebelumnya, bencana
ini tidak pernah terjadi Rantau Panjang. Keadaan ini membuat masyarakat Rantau
Panjang khawatir. Banyak rumah yang terendam banjir. Pakaian, bahan makanan dan
tempat tidur teredam air pasang laut.
Karena luas pemukiman dan jumlah penduduk Rantau Panjang
bertambah, tahun 2008 Hamsyah memekarkan dusun dan RT. Semula jumlah dusun hanya
4, berubah menjadi 8. Jumlah RT hanya 12, berubah menjadi 32. Jumlah RW awalnya
4, berubah menjadi 8.
Sebelumnya, tersier 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, tersier 4, 5, 6 dan 7,
serta kawan S,P. 2 menjadi bagian dari Dusun Ampera. Kemudian S.P. 2 dimekarkan
menjadi Dusun Siput Lestari. Tersier 1 – 3 A/B mekar jadi Dusun Sinar Selatan.
Tersier 4, 5, 6 dan 7 mekar jadi Dusun Kebal Manuk. Sedangkan tersier 8, 9 dan
10 awalnya bagian dari kawasan Dusun Makmur, mekar menjadi Dusun Sinar Palung.
Dusun Sinar Palung terdiri dari 5 RT, yaitu RT 13, 14, 15,16 dan
17. Dusun Kebal Manuk terdiri dari 5 RT, yaitu RT 18, 19, 20, 21 dan 22. Dusun
Sinar Selatan terbagi 6 RT, yaitu RT 23, 24, 25, 26, 27 dan 28. Dusun Siput
Letari terbagi 4 RT, yaitu RT 29, 30, 31 dan 32.
Selain sebagai pioner pembangunan transmigrasi, Hamsyah juga
banyak melakukan gagasan pembangunan lainnya. Prinsipnya, membangun kampung
halaman adalah amanah besar yang harus diwujudkan. Hingga akhir masa jabatannya
(2012), Hamsyah tetap melakukan ihktiar untuk membangun tumpah darahnya.
9. Sarkandi
Meniti karir dari Ketua RT di Tersier 6. Kemudian di priode
kedua kepemimpinan Hamsyah, Sarkandi dipercaya menjadi Kepala Dusun Kebal Manuk
pertama. Ketika masa bhakti Hamsyah berakhir 2012, Sarkandi mencoba mengadu
nasib, mencalonkan diri menjadi Calon Kepala Desa 2012 – 2018.
Yang bertarung dalam Pilkades 2012 – 2018 yaitu Rasemi, Abdul
Raini, Sarkandi, Mat Jani, Nasir dan Zulkarnaen. Dengan mengungguli 40-an suara
dari pesaing keduanya Mat Jani, Sarkandi ditetapkan sebagai pemenang Pilkades.
Selanjutnya, yang menempati urutan berikutnya Nasir, Rasemi, Abdul Raini dan
Zulkarnaen.
September 2012, Sarkandi dan kepala desa lainnya dilantik oleh
Hildi Hamid – Bupati Kayong Utara. Selesai dilantik, Sarkandi segera masuk
kantor. Membenahi dan menata perangkat kerja desa, untuk mendukung rencana
kerjanya.
Sekitar 2017, Sarkandi merampingkan jumlah RT yang semulanya 32
menjadi 23. Perampingan ini sangat beralasan. Sebab ada beberapa tersier yang
dulunya ramai berpenghuni, sekarang tinggal 1 atau 2 KK saja. Bahkan ada yang
kosong sama sekali.
Sekitar Mei 2018, Sarkandi resmi mengundurkan diri dari Kepala
Desa Rantau Panjang. Pengunduran dirinya, karena ikut sebagai bakal calon/calon
legislatif dari partai tertentu. Oleh Dinas P3AMPD Kayong Utara, dia masih
dibenarkan menjabat hingga terbit Surat Keputusan Bupati tentang Penjabat
Kepala Desa.
Pada tanggal 31 Agustus 2018, Moh. Sari’ian ditetapkan menjadi
Penjabat Kepala Desa Rantau Panjang 2018 oleh H. Syarif Yusniarsyah, Pejabat Bupati Kayong Utara 2018, dan berakhir hingga kades terpilih
dilantik/ditetapkan bupati. Artinya, tahta kepemimpinan Sarkandi resmi
berakhir.
10. Hasanan
10. Hasanan
Senin, 8 Oktober 2018, diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa
Priode 2018 – 2024. Kompetitor yang berlaga dalam Pilkades tersebut yaitu
Hamsyah Syahran, Zainal Arifin, Hasanan dan Indriyadi.
Hasil rekapitulasi Panitia Pemungutan Suara (PPS), memutuskan
hasil kompetisi Pilkades, Hasanan sebagai peringkat pertama. Hamsyah Syahran
sebagai peringkat kedua. Indriyadi sebagai peringkat ketiga, dan Zainal Arifin
sebagai peringkat keempat perolehan suara Pilkades 2018 – 2024.
Pada tanggal 15 Desember 2018, betempat di Istana Rakyat, Drs.
Citra Duani – Bupati Kayong Utara melantik 16 kepala kesa terpilih se- Kayong
Utara. Salah satunya adalah Hasanan, Kepala Desa Rantau Panjang 2018 – 2024.
Hasanan menjadi pemimpin ke- 10 Rantau Panjang, sejak Rantau
Panjang resmi dipimpin oleh seorang pemimpin. Terhitung dari pemimpin pertama
Rantau Panjang yang bergelar Dokuh, yaitu Abu Kasim alias Endut (1912 – 1942).
Jadi, usia kepemimpinan Rantau Panjang sekitar 107 tahun, yaitu
dari 1912 – 2019. Sedangkan usia kampong (desa), jika dihitung mulai dari Terus
Jawe dan sekitarnya, sekitar 295 tahun (1724 – 2019). Resmi disebut kampong,
yaitu Kampong Sungai Bagan atau Tembok Baru, usianya 197 tahun (1822 – 2019).
(Has)
Catatan: Masih perlu perbaikan dan riset ulang.
sakti
BalasHapus