• Rantau Panjang

    Bersama Mewujudkan Masyarakat yang beradab dan beradat.

  • Bersama Dalam Mmebangun Desa

    Dengan prinsip kebersamaan kami berkomitmen membangun desa ini secara bersama sama dengan partisipasi dari masyarakat

  • Rantau Panjang Bersinergi bersama masyarakat

    untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan merata, kami pemerintah desa rantau panjang mengajak bersinergy dengan berbagai elemnt

  • Alam Desa Rantau Panjang

    Dengan kekayaan alam yang luar biasa dan Desa rantau panjang juga memiliki wilayah kawasan Taman Nasional Gunung palung, di sini banyak potensi yang baik, selengkapnya juga bisa di saksikan di chanel yutube kayong TV .

  • Gotong Royong Budaya Luhur Bangsa

    Gotong royong budaya luhur bangsa kita. Sejak dulu, nenek moyong kita bergotong royong membangun kampungnya. Membangun jalan, saluran, tempat ibadah, pemukiman dan sebagainya..

Sejarah Desa Rantau Panjang, Dari Masa Kerajaan Hingga Kini



Penduduk Rantau Panjang pada masa lampau berasal dari pesisir pantai Pelitu, Batu Teritip dan Pekajang. Daerah ini sekarang masuk dalam wilayah Dusun Mentubang, Desa Harapan Mulia Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara.


Berdasarkan literatur sejarah yang ada. Kemudian dari cerita rakyat yang berkembang dari masa ke masa. Sekitar tahun 1724 – 1824, warga Kerajaan Tanjungpura yang berpusat di Sukadana, pindah ke Matan. Menjelang berakhirnya masa jabatan Gusti Jakar Negara alias Sultan Muhammad Zainuddin, dia memindahkan pusat Kerajaan Tanjungpura ke Matan.
Pindahnya pusat Kerajaan Tanjungpura ketika itu, sebab menghidari serang perompak laut (lanun), dan serangan Sultan Agung dari Mataram. Selama lebih kurang 100 tahun, Sukadana dan sekitarnya menjadi kota mati. Setelah Tengku Akil datang dan menjadi Raja Sukadana, Sukadana kembali menjadi ramai.
Selain pusat pemerintah yang berpindah ke Matan, penduduk Tanjungpura juga ikut pindah, mencari tempat pemukiman yang aman. Yang menetap di Tambak Rawang (Gunung Sembilan) dan sekitarnya, pindah ke Kampung Bukang, Banjor, Kembereh. Ada yang ke Gerai (Gorai), Kalam, Simpang Dua, Balai Berkuak. Kemudian ada yang menuju ke Balai Pinang, Semandang, Laur Kuning, Kualan dan Banjur.
Bukan hanya warga Sukadana, Tambak Rawang dan Pelerang yang hijrah ke hulu Sungai Simpang, menghindari perompak laut. Warga yang menetap di Pelintu, Batu Teritip dan Pekajang pun ikut hijrah juga. Hijrahnya warga Pelintu, Batu Teritip dan Pekajang bukan ke hulu Simpang, tapi menyusuri Sungai Rantau Panjang.
Mereka menetap di Dungun Karu, Terus Landak, Sungai Siput dan Terus Jawe. Dari kelompok keluarga inilah, menjadi cikal-bakal lahirnya kampung Rantau Panjang. Yaitu desa Rantau Panjang – Kecamatan Simpang Hilir sekarang. Hal ini terjadi sekitar tahun 1724.
Sejarah terusan Jawe, merupakan terusan galian tangan manusia. Selain sebagai daerah pemukiman, terusan ini dibangun untuk memperpendek alur transportasi ke hulu Sungai Rantau Panjang. Maklum, waktu itu transportasi air menjadi andalan warga. Dengan membangun terusan, jarak tempuh yang awalnya 7 tanjung (± 5.000 meter), menjadi 500 meter saja.
Pada awal warga tersebut menetap di Rantau Panjang, pekerjaan utama mereka berladang (menanam padi). Ada yang menanam kelapa dan tanaman perkebunan lainnya. Mereka membangun pemukiman di tepi Sungai Rantau Panjang.
Selama puluhan tahun mereka menetap di Dungun Karu, Terus Jawe dan Terus Landak. Sekitar tahun 1822, sebagian dari mereka memutuskan menetap ke hilir Sungai Rantau Panjang. Kampung ini mereka sebut ‘Sungai Bagan’. Alasannya, karena kondisi negeri sudah aman dan mendekat ke muara sungai, agar transportasi air lebih dekat.
Sungai Bagan bermakna sungai yang menjadi tempat bermukim sementara. Bagan ialah sinonim dari pondok, atau rumah kecil tempat bernaung sementara. Biasanya, bangan merupakan pondok untuk tempat beristirahat setelah bekerja. Baik bekerja di hutan, sungai, maupun di laut.
Selama berpuluh-puluh tahun warga tersebut menetap di Sungai Bagan, kehidupan mereka aman dan tentram. Kebutuhan pangan mereka terpenuhi dari hasil berladang. Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Masing-masing warga menggarap lahan, panjangnya lebih dari 1 kilo meter. Sedangkan pemukiman mereka tetap di pinggir sungai Rantau Panjang, yaitu Kampong Sungai Bagan.
Semakin hari, jumlah/populasi mereka semakin bertambah. Muncul niat mereka membangun jalan poros/jalan utama. Jalan yang mereka bangun, persis dipertangahan lahan mereka, sekitar 500 meter dari pinggir sungai. Secara swadaya, warga Sungai Bagan membangun jalan tersebut dengan galian tangan. Jalan pertama ini, jaraknya antara Jembatan Koperasi hingga perbatasan Dusun Tembok Baru dengan Ampera sekarang. Yaitu, sekitar 1 kilo meter saja.
Setelah jalan selesai dikerjakan, warga Kampong Sungai Bagan sepakat membangun pemukiman mereka di jalan baru tersebut. Mereka menyebut jalan baru ini dengan sebutan ‘Tembok Baru’. Tembok dalam bahasa Melayu adalah jalan. Tembok Baru, artinya Jalan Baru. Jalan ini menjadi cikal-bakal jalan provinsi sekarang.
Seiring berjalannya waktu, Kampong Sungai Bagan berubah nama menjadi Kampong Tembok Baru. Nama ini melekat hingga sekarang, dan menjadi nama dusun yang ada di Rantau Panjang. Bahkan negeri jiran (Harapan Mulia) sekarang, sebagian masih menyebut Rantau Panjang ‘Tembok Baru’.
Situs peninggalan warga Tembok Baru yang tersisa, adanya kuburan tua, yang terletak di RT 006 Dusun Tembok Baru. Jumlah penghuni kuburan ini lumayan banyak. Namun sayang, nisan kuburan ini telah lapuk di makan usia. Saat ini yang tersisa hanya 2 kuburan saja. Sebab, nisan kuburan tersebut terbuat dari kayu belian.
Tak satu pun yang mengetahui, sejak kapan pemakaman Muslim di Dusun Tembok Baru tersebut ada. Dan tidak satu pula yang mengetahui, dari silsilah siapa penghuni kuburan tersebut. Cerita yang berkembang di masyarakat, kuburan tersebut merupakan kuburan warga Rantau Panjang yang pertama. Yaitu, warga Kampong Sungai Bagan atau Kampong Tembok Baru.
Bukan hanya di Dusun Tembok Baru warga menemukan situs pemakaman tua. Di seberang sungai Rantau Panjang, persis berhadapan dengan dusun ini, dijumpai situs-situs kuburan tua, yang tersebar di beberapa titik. Tidak ada yang mengetahui siapa yang dimakamkan di kuburan tersebut. Di duga, yang dimakamkan disana, ialah warga penghuni awal Rantau Panjang.
Semakin tahun penduduk Kampong Tembok Baru semakin berkembang. Warga yang datang dari luar kampung pun terus bertambah. Sebab, di bumi ini berccocok tanam menghasilkan. Hasil tangkapan sungai dan laut melimpah. Hamparan hutan dan seisinya, memberikan kehidupan buat penghuni kampung ini.
Melihat perkembangan Tembok Baru, sekitar 1835, warga yang masih menetap di Terus Jawe dan Sungai Siput dan sekitarnya memutuskan hilir ke Tembok Baru. Kampung tua (Terus Jawe dan Sungai Siput) mereka tinggalkan. Mereka membangun tempat tinggal baru di Tembok Baru.
Saat itu, belum diketahui jejak kepemimpinan di Sungai Bagan atau Tembok Baru. Sejarah yang dituturkan dari cerita masyarakat secara turun-temurun, kepemimpinan di Rantau Panjang diketahui ada sejak 1912. Yaitu, pada masa pemerintahan Gusti Panji alias Penembahan Suryaningrat, dengan pusat pemerintahannya di Simpang Matan.

Sekitar 100 tahun (1724 – 1912), tidak terekam kepemimpinan di Rantau Panjang. Hanya Endut, alias Abu Kasim, yang terekam dalam benak masyarakat Rantau Panjang, sebagai pemeimpin pertama Rantau Panjang. Tercatat, Endut menjadi dokuh sejak 1912. Sebelumnya, tidak diketahui secara pasti.
Cerita selanjutnya, kepemimpinan di Rantau Panjang terbagi dalam 5 masa. Masa Kerajaan (Kolonial Belanda) dan masa Kerajaan (Pendudukan Jepang). Kemudian Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sebelumnya, bangsa ini menggunakan hukum kerajaan dan hukum Belanda. Hukum Belanda yang mengatur tentang desa, yaitu Inlandshe Gemeente Ordonatie voor Buittengewesten (IGOB). Berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Masa berlaku hukum ini dari 1938 – 1942. Sedangkan untuk Jawa dan Madura, yaitu Inlandshe Gemeente Ordonatie (IGO), berlaku sejak 1906 – 1942.
Kemudian, masa pendudukan Jepang, dasar hukum untuk tingkat desa, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 (Osamu Seirei). Sedangkan UU Belanda, IGO dan IGOB tetap diberlakukan Jepang.
Dasar hukum yang mengatur tentang desa yang pernah berlaku di Indonesia, selain IGO, IGOB dan Osamu Seirei, yaitu:

1. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1948 tentang Daerah Tingkat III (Desa);
2. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1957;
3. Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, berlaku dari tahun 1965 – 1979;
4. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, penyebutan desa diseragamkan, berlau dari 1979 – 1999;
5. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, memuat tentang desa, berlalu dari 1999 – 2004;
6. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah;
7. Parutan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa; berlaku dari 2005 – 2014;
8. Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berikut ini pemaparan tentang pemimpin Rantau Panjang. Sejak jaman raja-raja, kolonial Belanda, Jepang dan Pemerintah Republik Indonesia dari masa ke masa. Dengan dasar hukum tentang desa, sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas.

1. Endut
Endut merupakan Kepala Kampong Tembok Baru (Rantau Panjang) pertama. Nama sebenarnya Abu Kasim bin Muhammad Arif bin Muhammad Ata bin Abu Thalib. Namun Abu Kasim lebih tersohor dengan nama sapaannya Endut. Masanya, pertanian dan nelayan tangkap, menjadi mata pencarian utama warganya.
Priode kepemimpinan Endut alias Abu Kasim, yaitu tahun 1912 – 1923. Saat dia menjadi kepala kampung, masuk dalam masa transisi kekuasaan di kerjaan, dari Gusti Panji ke Gusti Roem (1912 – 1942). Priode ini masuk dalam masa kolonial Belanda.
Saat itu, julukan untuk pemimpin kampung, ada yang menyebutnya dengan julukan Demong, Dokuh, atau sebutan Kepala Kampong. Julukan demong dan dokuh/dokoh tentu melekat pada masa kerajaan ketika itu. Sedangkan kepala kampong, lahir dari bahasa takzim warga kepada pemimpin sebuah kampong (desa) masa lalu.
Ada peristiwa besar yang terjadi di Tanah Simpang ketika Endut jadi dokuh. Masa itu, Gusti Panji masih menjadi Penembahan Simpang. Pada tahun 1912, terjadi Perang Belangkait (bulangkait). Perang antara Belanda dan rakyat Simpang, yang dipimpin Ki Anjang Samad.
Riwayat lain menyebutkan, Perang Belangkait terjadi pada tahun 1910. Perang ini terjadi di daerah Belangkait, wilayah Kerajaan Simpang. Belangkait adalah nama sejenis kayu berduri tajam. Nama asli kayunya ‘bulang’. Disebut belangkait, karena kayu ini menjadi ranjau pada saat perang tersebut. Bisa mengait (menjerat/menyobek) tumbuh Belanda.
Cerita orang-orang tua Rantau Panjang dulu, beberapa orang warga Rantau Panjang terlibat dalam Perang Belangkait. Sayangnya, nama-nama tersebut tidak terekam dalam jejak sejarah kerajaan, khususnya jejak sejarah Rantau Panjang.
Masa Endut menjadi Kepala Kampong Tembok Baru, jalan Tembok Baru yang awalnya sepanjang 1 kilo meter, bertambah menjadi 3 kilo meter. Ada penambahan 2 kilo meter ke arah selatan, menuju jembatan Rantau Panjang sekarang. Kemudian, bertambah lebih kurang 3 kilometer dari Jembatan Koperasi menuju ke Jongbom (Sungai Simpang). Satu-satunya akses jalan yang ada di Kampong Tembok Baru.
Sebagaian riwayat menyebutkan, sebagai perintis kelanjutan pembangunan jalan Tembok Baru tersebut ialah Asim, yaitu mendiang ayahanda Bujang Yuk (Penjalaan). Itu dilaksanakan pada tahun 1917. Saat itu, dari Jembatan Koperasi menuju ke Jongbom masih hutan belantara. Pohon-pohon besar masih berdiri kokoh.
Setelah jalan selesai dibangun secara swadaya dan manual, warga pun merimba’ (membuka lahan) untuk berladang. Berawal dari membuat pondok untuk berladang, lama-kelamaan berkembang menjadi pemukiman baru. Sebutan Rantau Panjang mulai muncul dikalangan masyarakat Tembok Baru.
Abu Kasim aslinya berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dia merantau ke Kalbar dan terdampar di Tembok Baru, Rantau Panjang sekarang. Kemudian, dia menikah dengan gadis Rantau Panjang. Karena dia menemukan ketenangan di Rantau Panjang, dia memutuskan menetap di Negeri Rantau hingga akhir hayatnya.

2. Bakri
Bakri merupakan Dokuh/Kepala Kampong kedua, setelah Abu Kasim. Priode kepemimpinannya, antara tahun 1923 – 1929, selama 6 tahun. Saat dia berkuasa, Gusti Roem adalah Raja Kerajaan Simpang.
Saat itu, pusat pemerintahan telah berpindah, dari Simpang Matan ke Teluk Melano. Dari Gusti Panji, turun tahta ke Gusti Roem, adik kandung Gusti Panji. Masa Gusti Panji, pusat pemerintah di Simpang Matan. Oleh adiknya Gusti Roem, pusat pemerintahan pindah ke Teluk Melano
Selain itu, kepemimpinan Bakri masuk juga dalam masa kolonial Belanda. Ketika itu, Belanda masih menguasai Indonesia. Di Kerajaan Tanjungpura, markas Belanda berada jalan Tanah Merah Sukadana, yang disebut Tengsi Militer Belanda saat ini.
Melanjutkan kepemimpinan Endut, Bakri tetap melanjutkan tradisi kemasyarakatan Rantau Panjang. Adat budaya masyarakat terpelihara dengan baik. Setiap tahun selalu digelar acara Nyapat Taon/Ceboh Kampong. Kemudian acara Mandi Safar, Do’e Kasah (do’a akasah), serta kegiatan kebudayaan lainnya terjaga dengan baik.
Pertanian menjadi pekerjaan utama masyarakat Tembok Baru. Komoditi utamanya padi. Kemudian mengembangkan kelapa dalam, serta komodi lainnya yang cocok ditanam/dikembangkan di tanah ini.
Dikalangan masyarakat, Bakri lebih akrab dipanggil Libak atau Pak Unggal Ibak. Nama tersebut adalah nama timangan orang tuanya.

3. Endut
Endut, alias Abu Kasim bin Muhammad Arif bin Muhammad Ata bin Abu Thalib, kembali didaulat menjadi Dokuh Kampong Tembok Baru (Rantau Panjang). Pada priode pertama, Endut menjabat selama 11 tahun (1912 – 1923). Priode kedua, Endut memimpin sekitar 15 tahun (1929 – 1943). Artinya, Endut memimpin Rantau Panjang selama 26 tahun.
Tidak lama setelah Endut menjadi dokuh kedua, sekitar tahun 1932, datang rombongan warga Thionghua ke Rantau Panjang. Mereka menetap di Terus Jawe – eks daerah pemukiman warga Sungai Bagan (Tembok Baru). Pekerjaannya, berladang dan membudidayakan kepala.
Di priode kedua, kepemimpinan Endut masuk dalam dua masa. Masa Kolonial Belanda dan masa Pendudukan Jepang. Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, karena berhasil menaklukan Belanda tahun 1942. Pada tahun 1943, Jepang sudah bercokol di Tanah Simpang atau Kerajaan Tanjungpura. Ketika itu, yang menjadi raja Simpang, yaitu Penembahan Gusti Mesir (1942 – 1943).
Masa Jepang, penduduk Indonesia benar-benar menderita. Penderitaan itu juga dirasakan penghuni Rantau Panjang. Kehidupan yang tenang berubah mencekam. Ketersedian pangan dan sembako semula ada, menjadi krisis. Pesawat Jepang sering lalu-lalang di langit Kerajaan Simpang dan Sukadana.
Di Tanah Kayong, Jepang bermaskas di Sukadana, di Tengsi Militer Belanda. Sesekali, kempetai (tentara) Jepang turun ke lapangan, menindas dan merampas hak-hak rakyat. Memperkosa gadis-gadis pribumi yang tak berdosa.
Masa itu, masyarakat Rantau Panjang kesulitan pangan dan pakaian. Penduduk mengkonsumsi ubi, sagu, gadung dan lainnya, sebagai pengganti beras. Beras sulit di dapat. Petani tidak bisa berladang karena takut. Jika warga memiliki beras, ketahuan Jepang akan dirampas.
Garam, minyak tanah dan kebutuhan pokok lainnya sulit di dapat. Sehingga warga membuat garam dari nipah. Untuk penerangan pada malam hari, warga menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya. Untuk mendapatkan gula, warga mengolah nira kelapa/enau sebagai gula alternatif.
Banyak penduduk pribumi (Kayong) yang memakai celana goni dan baju kepuak. Atau menggunakan serat kayu, yang diolah menjadi pakaian. Jika ada warga yang menjual pakaian, beras, minyak, tembakau dan lainnya, ketahuan Jepang bisa ditangkap dan disiksa.
Seperti kisah Bujang Kerepek alias Bujang Ramli, ayahanda Abu Kasim Bar yang ditangkap Jepang. Bujang Kerepek dan ratusan orang Kayong lainnya, ditangkap dan dibunuh Jepang di Mandor (Landak) 1944. Bujang Kerepek ditangkap, karena dia menyediakan kebutuhan pokok masyarakat. Saat dia ditangkap, yang menjadi Dokuh Tembok Baru Haji Achmad.
Di tahun 1943, Jepang pernah mengebom Pasar Teluk Melano dengan pesawat tempurnya. Ketika itu, pasar Melano masih di pinggir Sungai Simpang. Tujuan Jepang, menciptakan ketakutan (teror) kepada penduduk Simpang, dan Tanjungpura umumnya. Peristiwa ini diabadikan masyarakat Rantau Panjang, dalam nama suatu kawasan perbatasan dengan Desa Teluk Melano, yaitu Jongbom.
Jongbom bermakna ‘Jong (ujong) dan Bom’ atau ujung yang pernah di bom (Jepang). Disebut ujong (ujung), karena bentuk tanjung/daratan paling utara di Rantau Panjang ini lancip seperti ujung sesuatu. Sekarang, Jongbom persis terletak di RT 001 RW 001 Dusun Sepakat Jaya, Desa Rantau Panjang.
Sebagai peletak dasar kepemimpinan Rantau Panjang, Endut tetap meneruskan visi misi pertamanya. Dia ingin Rantau Panjang semakin maju dari segala aspek, dengan tidak meninggalkan kearifan yang ada. Namun, tantangan Endut di priode ini sangat berat. Fasisme Jepang, menjadi penghambat utamanya.
Sekitar tahun 1940-an, dibawah kepemimpinan Endut, warga membuka areal pertanian baru. Membangun jalan baru, yang saat ini dikenal dengan nama ‘Parit/Jalan Parit Timur’. Saat itu, panjang jalan galian warga tersebut, sekitar 2 kilo meter saja.
Sebagai komandan pembukaan pertama Parit Timur, yaitu Murad. Dia merupakan kakeknya Salim Tamura, atau buyutnya Hasanan – Kepala Desa Rantau Panjang priode 2018 – 2024.
Saat itu, Murad dipercaya sebagai Kepala Parit, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap pembangunan jalan dan kebersihan parit. Tidak bisa sembarangan orang menjadi kepala parit. Harus orang yang berpengaruh dan disegani warga.
Gotong royong adalah cara terbaik warga dalam membangun kampungnya. Seperti membangun jalan, setiap kepala keluarga akan diberi batas/kaplingan galian. Setiap ukuran kaplingan, lebarnya 1,5 depa (sekitar 2 meter), dan panjang 30 depa (sekitar 50 meter).
Seperti biasa, pada ada awal pembukaan lahan, warga manfaatkannya untuk berladang. Mereka membangun pondak/tempat menginap sementara, dan membangun langkau (lumbung padi) untuk menyimpan padi. Lama-kelamaan mereka menetap. Kemudian, Parit Timur menjadi daerah pemukiman baru.
Biasanya, setelah lahan kering karena pengauruh parit, warga menanam tanaman tahunan (karet, kelapa, kopi dan sebagainya), serta tanaman semusim lainnya. Kemudian, mereka mencari atau mengembangkan lokasi berladang baru, yang masih basah.
Di tahun yang sama (1940-an), warga Thionghua yang menetap di Terus Jawe, sebagian pindah ke Sungai Semut. Sebagian pindah ke hilir sungai Rantau Panjang. Mereka membuka areal bermukiman baru, tepatnya di Terus Landak sekarang.
Pindahnya warga Thionghua ke Sungai Semut dan Terus Landak, akibat tidak mampu dengan gangguan hama babi. Kebun dan ladang mereka dirusak babi, membuat mereka putus asa bertahan di Terus Jawe.
Awal kedatangan warga Thionghua ke Terus Landak berladang. Kemudian membangun pemukiman. Setelah lahan kering, mereka menanam kelapa, karet dan tanaman lainnya. Ada juga diantaranya menjadi nelayan tangkap, baik di sungai maupun laut.
Jalan awal Terus Landak yang di bangun warga Thionghua, titik nolnya, yaitu mulai dari gerbang masuk depan gereja (GKNI) Rantau Panjang, belok kiri menuju jalan Ampera. Panjangnya sekitar 1,5 kilo meter. Daerah ini, dari sejak dibangun hingga sekarang, menjadi daerah pemukiman warga Thionghua.

4. Haji Achmad
Setalah Endut mangkat dari Dokuh Tembok Baru, Haji Achmad menempati Dokuh Tembok Baru selanjutnya. Haji Achmad mejadi dokuh selama 6 tahun, yaitu dari 1943 – 1949.
Sebagai pewaris tahta Endut, priode kepemimpinan Achmad tergolong priode yang yang sulit. Masa ini, Jepang masih bercokol di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Kerajaan Simpang. Setelah 1945, atau sekitar 2 tahun dia menjabat dokuh, secara resmi Jepang meninggalkan Indonesia.
Setelah Jepang meninggalkan Indonesia karena kalah perang dengan Sekutu, rakyat Indonesia kembali tentram. Sejarah mencatat, Jepang lebih kejam dari Belanda dan bangsa-bangsa penjajah lain. Di Kalimantan Barat, ribuan nyawa melayang di pancung Jepang. Korban tersebut terdiri dari kalang bangsawan, kaum cendikia, feodal dan rakyat jelata.
Di Tanah Simpang, tahun 1943, kempetai Jepang menangkap Gusti Roem (Penembahan Tua), Gusti Mesir (Penembahan Simpang). Kemudian Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti Tawi (Menteri tani), Tengku Ajong, Dolah (sopir penembahan) dan Bujang Kerepek. Dari keluarga Kerajaan Sukadana yang ditangkap Jepang, yaitu Penembahan Tengku Idris alias Tengku Betung. Masih banyak lagi penduduk Kayong, yang menjadi korban kebiadaban Jepang.
Penangkapan Bujang Kerepek dan kerabat kerajaan tersebut, membuat warga semakin dihantui rasa ketakutan. Warga tidak bisa bergerek bebas. Bekerja takut, tidak bekerja tidak makan. Sebagai dokuh, Achmad tidak bisa berbuat banyak.
Setelah pendiri bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ternyata, Belanda masih menyimpan ambisi besar untuk menguasai Indonesia, dengan melancarkan agresi-agresinya. Agresi tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi penduduk Rantau Panjang khususnya. Namun, suka cita menyambut kemerdekaan, dirasakan seluruh penduduk Tanah Simpang.
Pasca kekalahan Jepang dan Indonesia dinyatakan merdeka, di Kalbar muncul gerakan-gerakan balas dendam terdahap Jepang. Balas dendam akibat kematian raja-raja dan rakyat jelata. Melayu dan Dayak bersatu, mencari kempetai-kempetai Jepang yang tersisa. Jika ketemu, mereka langsung bunuhnya.
Gerakan di Simpang dipimpin oleh Gusti Legat – anak Penembahan Gusti Panji. Dari Simpang Dua, Gusti Lengat membawa 30 pasukan berkepala burung. Gerakan ini dikenal dengan ‘Gerakan Kepala Burung’. Mereka menyisir daerah-daerah yang dicurigai, mencari pelarian Jepang hingga ke Sukadana. Tidak ketinggalan, warga dari Rantau Panjang ikut bergabung dengan pasukan Gusti Legat, mencari kempetai Jepang yang tersisa.
Tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia. Indonesia kembali kondusif, termasuk Tanah Simpang. Dengan kondisi Tanah Simpang yang kondusif, sebagai Dokuh Tembok Baru (Rantau Panjang), Achmad lebih leluasa menjalankan kiprahnya. Namun sayang, di tahun ini, dia meletakan jabatannya sebagai dokuh.

5. Haji Abochri
Haji Abochri bin Haji Abdullah, pada bulan Juni 1949, dia dinobatkan menjadi Kepala Kampong Rantau Panjang, menggantikan Haji Achmad. Masa kepemimpinannya tidak lama, sekitar 5 bulan saja. Tepatnya, terhitung sejak Juni 1949 hingga November 1949.
Pendeknya masa kepimpinan Bochri, nama akrabnya, karena dia ditetapkan sebagai pegawai perikanan. Karena tugas negara, dengan kerendahan hati Bochri meletakan jabatannya sebagai Dokuh Rantau Panjang.
Kendati pendek, Bochri telah menorehkan sejarah dan meletakan dasar kepemimpinan, melanjutkan kepemimpinan sebelumnya. Membangun pondasi masyarakat dengan landasan agama, menjadi misi utamanya. Sayangnya, masa itu terlalu singkat buat masyarakat Rantau Panjang. Namun demikian, itu sangat membekas di hati masyarakat.

6. Zulkipli
Zulkipli tergolong lama menjadi pemimpin Rantau Panjang, menggantikan Haji Abochri, yaitu selama 31 tahun. Masa kepemimpinannya, sejak Nopember 1949 – 1980.
Rantau Panjang bukanlah tempat kelahiran Zulkipli. Dia berasal dari Semanai, Desa Simpang Tiga Kecamatan Sukadana. Dia menikah dengan gadis Rantau Panjang, kemudian menetap disini hingga akhir hayatnya.
Sekitar 1996, satu-satunya rumah panggung yang paling tinggi di Rantau Panjang masih berdiri kokoh. Tinggi tongkat rumah ini lebih dari 2 meter, atau mencapai 3 meter dari tanah. Di kolong rumah ini bisa menjadi tempat menumbuk padi, tepung dan sebagainya. Rumah ini peninggalan Zulkipli. Setelah 1996, oleh ahli waris rumah tersebut dibongkar.
Karena kelebihan yang dimiliki Zulkipli, tahun 1949 dinobatkan menjadi Kepala Kampong Rantau Panjang. Riwayat lain menyebutkan, tahun 1952 secara resmi Tembok Baru berubah nama menjadi Kampong Rantau Panjang. Kemudian Zulkipli ditetapkan sebagai pemimpin pertama Rantau Panjang, yang berjuluk Kepala Kampong.
Nama Rantau Panjang bermakna “Perjalanan Panjang”. Nama ini disepakati, berdasarkan sejarah panjang perjalanan penduduk asal Rantau Panjang. Berawal dari perantau Pelintu, Batu Teritip, Pekajang dan perantau dari daerah lain. Kemudian menetap di Dugun Karu, Terus Landak dan Terus Jawe. Terakhir mereka menetap di Sungai Bagan, yang kemudian berubah nama menjadi Kampong Tembok Baru. Perjalanan perantau yang panjang tersebut, menginspirasi pendiri negeri ini memberi nama Rantau Panjang.
Era 1940-an – 1960-an, Rantau Panjang menjadi tempat persinggahan dan menetapnya para perantau. Perantau dari Sulawesi (Bugis), Banjar, Jawa, Madura dan perantau dari daerah lainnya. Bahkan ada perantau yang asli datang dari daratan China.
Yang dominan, ialah perantau dari Bugis dan Banjar. Sehingga adat istiadat etnis Bugis dan Banjar melekat hingga sekarang pada warga Rantau Panjang. Ada yang datang rombongan dengan keluarga, ada yang datang merantau sendiri. Perkawinan dengan penduduk pribumi, melahirkan kebudayaan baru bagi penghuni Rantau Panjang.
Seperti yang terjadi di tahun 1958, datang rombongan perantau dari Bugis. sebelumnya mereka menetap di sekitar Semanai. Dari Semanai, mereka pindah dan menetap di Parit Timur, membuka lahan untuk berladang.
Kehadiran perantau yang menatap di Rantau Panjang tersebut, menginspirasi pendiri desa ini menamankan kampungnya Rantau Panjang. Selain bermakna ‘perjalanan panjang’, juga bermakna ‘kampungnya para perantau jauh (panjang)’.
Pada tahun 1950, pemimpin setingkat kecamatan yang bergelar Demang, yaitu Tengku Ismail mengagas meneruskan pembangunan jalan di Parit Timur. Kemudian, pembangunan tersebut dilanjutkan pada tahun 1958, bersama masuknya warga Bugis ke Parit Timur. Zulkipli sebagai Kepala Kampong pun terjun langsung, dan ikut berladang juga di Parit Timur.
Saat melanjutkan pembangunan Jalan Parit Timur, sebagai kepala paritnya, yaitu Gudang alias Pak Ude Gudang. Dia bertanggung jawab terhadapan pembangunan dan kebersihan parit dan jalan – Parit Timur. Semula, panjang jalan Parit Timur sekitar 2 kilo meter saja, bertambah menjadi 4 kilo meter.
Tahun 1961, warga Rantau Panjang membuka jalan untuk lokasi perladangan baru. Jalan tersebut sekarang dikenal dengan Jalan Ampera. Disepakati, pembukaan jalan tersebut antara batas tanah Menan dan Amha. Menan dan Amha saudara kandung, anak kandung dari Abu Kasim (Endut) bin Muhammad Arif bin Muhammad Ata bin Abu Thalib.
Yang pertama kali menggali Jalan Ampera, yaitu Kudus, Saleh, serta 2 orang warga asal Madura: Siman dan Ahmad. Upah penggalian jalan tersebut, 1 gantang padi per depa maju. Lebar galiannya 1,5 depa (2 meter), dan panjang 625 depa (1.000 meter).
Mengutip keterangan Ahmad, saksi dan pelaku utama yang masih hidup saat ini. Sebelum melaksanakan pekerjaan awal, Menan, Amha, Resin, Kudus, Saleh, Siman, Ahmad dan sejumlah warga lainnya berembuk. Resin bertanya, “Hasil galian (badan jalan) tersebut dibuang kemana?” Jawab Ahma, “Dibuang ke Anjang Menan-lah!” Setelah sepakat, 4 orang pekerja pun mulai melakukan penggalian Jalan Ampera.
Resin bin Haji Achmad (anak mantan Kepala Kampung keempat), pernah menjadi Kepala Dusun Ampera. Dia menjadi kepala dusun pada masa kepemimpinan pertama Abu Kasim Bar (1982 – 1990).
Tahun 1962, pembangunan Jalan Ampera dilanjutkan. Sebagai kepala parit yang memimpin pembangunannya, yaitu Menan. Setiap kepala keluarga dikapling panjang antara 30 – 50 meter, dan lebar 2 meter. Semula panjang Jalan Ampera hanya 1.000 meter, bertambah menjadi sekitar 3.000 meter.
Ketika itu, belum ada nama Jalan Ampera. Pemberian nama resmi Jalan Ampera sekitar tahun 1970-an. Menurut riwayat, yang memberi nama Jalan Ampera tersebut Salim Tamura. Merupakan hasil kesepakatan rembuk Salim Tamura, Resin dan warga Ampera lainnya.
Ampera, adalah akronim (singkatan) dari Amanat Penderitaan Rakyat. Selain merujuk pada sejarah nasional bangsa ini, penamaan Jalan Ampera juga merunut pada krolonolgi sejarah pembangunan jalannya. Banyak tantangan yang terjadi dalam membangun Jalan Ampera.
Di tahun yang sama (1962), selain melanjutkan pembangunan Jalan Ampera, warga juga bergotong royong melanjutkan pembangunan Jalan Terus Landak. Titik pangkal pembangunan dimulai dari simpang menuju ke Jalan Ampera, maju sekitar 200 meter ke arah timur. Kemudian berbelok ke arah selatan – menuju Sungai Rantau Panjang.
Ada pula catatan riwayat penting yang terjadi di masa kepemimpinan Zulkipli. Sekitar tahun 1965 – 1968, Rantau Panjang sempat berstatus sebagai kelurahan. Saat itu, sebuatan dokuh/kepala kampong (kampung) berubah menjadi lurah. Karena itu, sebutan lurah tersebut kepada kepala desa, melekat hingga saat ini dikalangan masyarakat.
Pada tahun 1965, status Negeri Perantau ini berubah menjadi desa (desapraja). Zulkipli tetap sebagai pemimpinnya hingga tahun 1980. Dia tercatat sebagai pertama Rantau Panjang yang berjuluk Lurah/Kepala Kampong (1965 – 1980). Artinya, status Zulkipli sebelumnya sebagai Dokuh (1949 – 1952), Kepala Kampong (1952 – 1965), Lurah (1965 – 1968), berubah kembali menjadi Kepala Kampong (1968 – 1980).
Sebutan desa atau kelurahan (desapraja) ketika itu, mungkin terkait erat dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Sehingga, sebutan kepala kampong atau lurah tetap melekat di lidah masyarakat Rantau Panjang hingga kini.
Catatan lain (manuskrip) Abas Hasibuan, dia mengutip keterangan dari mendiang Zulkipli, bahwa pada tahun 1980 – 1982 merupakan masa transisi. Maksudnya, terjadi kekosongan pemimpin definitif di Rantau Panjang selama 2 tahun. Yang menempati posisi sementara sebagai pemimpin, seorang kebayan (sekretaris desa sekarang), yaitu Abu Kasim Bar (1978 – 1980).
Sebelum Abu Kasim Bar menjabat kebayan Zulkipli, terlebih dahulu dijabat oleh Ya’kub (1950 – 1978). Ya’kub adalah ayah kandung Haji Salim Ya’kub – Imam Masjid Jami’ Babul Hasanah, Imam Besar Rantau Panjang sekarang.
Abas Hasibuan merupakan cucu Endut alias Abu Kasim. Nasabnya, yaitu Abas Hasibuan bin Amha bin Abu Kasim (Endut) bin Muhammad Arif bin Muhammad Ata bin Abu Thalib. Dia mewarisi cerita sejarah kepemimpinan Rantau Panjang dari Zulkipli. Kemudian mencatatnya dalam catatan pribadinya.
Di masa kepemimpinan Zulkipli, bukan hanya bertani/berkebun yang menjadi pekerjaan pokok masyarakat. Nelayan tangkap pun menjadi mata pencarian warga. Alat tangkap yang digunakan warga, alat tangkap tradisional. Misalnya, seperti jermal, belat, pukat, rawai, jala, bubu, pancing dan alat tangkap tradisional lainnya.
Hutan juga menjadi sumber mata pencarian warga, terutama kayu dan rotan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, dalam mengolah kayu, warga masih menggunakan alat tradisional. Kapak, gergaji panjang, parang dan alat tradisional lainnya.

7. Abu Kasim Bar
Abu Kasim Bar adalah anak kadung Bujang Kerepek alias Bujang Ramli. Dia tergolong anak pejuang, yang menjadi korban kebiadaban Jepang. Ayahandanya ditangkap Jepang tahun 1943. Menurut riwayat, dia dan warga Kalbar lainnya dibunuh Jepang (dipancung) pada tahun 1944, di Mandor Kabupaten Landak.
Abu Kasim Bar lahir sekitar tahun 1930. Usia belasan tahun, Abu sapaanya, sudah menjadi anak yatim. Sebab ayahandanya menjadi korban fasisme Jepang. Dia anak sulung dari 5 bersaudara. Mewarisi bakat ayahnya, Abu muda sudah memiliki bakat kepemimpinan.
Sebelum menjadi kepala desa, Abu Kasim Bar sempat menjadi kebayannya Zulkipli. Tahun 1980, masa bhakti Zulkipli sebagai kepala kampong berakhir. Dia sempat menjadi semacam Penjabat Kepala Kampong selam 2 tahun (1980 – 1982). Tahun 1978 – 1980 dia menjadi kebayan.
Pada tahun 1982 diadakan pemilihan kepala desa pertama kali, alhasil Abu Kasim Bar terpilih sebagai Kepala Desa Rantau Panjang pertama, priode 1982 – 1990. Pemimpin yang dipilih langsung masyarakat. Pemilihan ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa. Kala itu, 1 priode masa jabatan kepala desa 8 tahun, dan hanya bisa menjabat selama 2 priode.
Waktu itu, Rantau Panjang terbagi 4 wilayah dusun, 12 RT dan 4 RW. Dusun-dusun tersebut terdiri dari Sepakat Jaya, Tembok Baru, Ampera dan Makmur. Setiap dusun teridiri dari 1 orang Kepala Dusun, 3 Ketua RT, dan 3 orang Ketua RW.
Dusun Sepakat Jaya terdiri dari RT 01, RT 02 dan RT 03, masuk dalam binaan RW I. Dusun Tembok Baru terdiri dari RT 04, RT 05 dan RT 06, masuk wilayah binaan RW II. Dusun Ampera terdiri dari RT 07, RT 08 dan RT 09, masuk wilayah binaan RW III. Serta Dusun Makmur terdiri dari RT 10, RT 11 dan RT 12, masuk wilayah binaan RW IV.
Pada tahun 1986 terjadi kebakaran besar di Rantau Panjang. Tragedi ini merupakan tantang tersendiri buat Abu. Kepemimpinannya sedang diuji. Akibat kebakaran lahan dan hutan, wabah penyakit menjangkiti masyarakatnya, seperti cacar, kolera, dan muntaber. Selain itu, jenis penyakit kulit juga menjangkiti warga yang dipimpin Abu Kasim Bar.
Tahun 1991, kembali terjadi kebakaran besar di Rantau Panjang. Ribuan hektar lahan dan hutan terbakar, akibat kemarau panjang lebih dari 3 bulan. Masyarakat Rantau Panjang kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga harus bersampan ke Harapan Mulia, mengambil air di Sungai Mulie. Atau menggunakan lereng (sepeda) ke Mentubang, pergi mandi, nyuci pakaian dan mengambil air bersih untuk minum.
Tahun 1990/1991, Jembatan Rantau Panjang di bangun. Tahun 1992/1993 Jembatan Teluk Melano pun di bangun. Sebelumnya, sekitar tahun 1940-an penyeberangan menggunakan ponton kayu belian. Tercatat, tentara Jepang (1943), ketika membawa rombongan rakyat Tanjungpura yang ditangkapnya, menggunakan truk.
Cerita orang-orang tua, truk Jepang tersebut membawa tawanannya, dari Ketapang melintasi jalan Rantau Panjang. Jumlahnya sekitar 3 buah. Kondisi para tawanan di truk tersebut dengan tangan diikat, dan kepala bersungkup (tertutup) karung. Di Teluk Melano telah menunggu motor cabang milik Jepang. Tawanan tersebut dinaikan ke motor, kemudian dibawa ke Mandor.
Sekitar tahun 1980-an, ponton kayu belian penyeberangan Sungai Rantau Panjang, berganti ponton besi. Orang-orang menyebut tempat ini ‘penambang/penambangan’, alias tempat penyeberangan. Mungkin diambil dari kata tambang (tali) besar yang digunakan untuk mengerakan ponton.
Demikian juga dengan penyeberangan antara Rantau Panjang dan Teluk Melano. Dari tahun 1912 – 1993, warga menyeberangan menggunakan sampan. Tahun 1940-an, ponton sudah tersedia untuk penyebarang ke Melano. Sesekali ponton digunakan, jika ada mobil yang ingin menyeberang ke Melano. Kadang mobil cukup mangkal di Jongbom, dan pemilik mobil menyeberang menggunakan sampan.
Tantang menyeberang di Sungai Simpang bagi pendayung dan penumpang, yaitu gelombang dan arus. Musim angin kencang, sungai bergelombang, membuat penumpang sebagian cemas. Saat air pasang/surut, maka sampan akan jauh hanyut dari titik yang dituju.
Sekitar tahun 1987/1988, pemerintah membangun jembatan Rantau Panjang. Bahan bangunan jembatan ini semua dari kayu belian, dengan ukuran tiang/tongkatnya 20 x 20 meter. Setalah jembatan selesai di bangun, bus penumpang pun mulai masuk Rantau Panjang.
Waktu itu, kondisi jalan masih belum beraspal, masih tanah hitam. Jalan Rantau Panjang mirip jalan 2 jalur, karena di tengah-tengah jalan ditumbuhi rumput. Saat bus dan mobil lain masuk Rantau Panjang, mangkalnya di Jongbom. Sebab jembatan Teluk Melano belum di bangun.
Kehadiran bus tersebut, membuat anak-anak usia SD/SMP sepu’ (terheran-heran). Banyak yang bergerantungkan di belangkang bus, karena ingin naiknya. Kebutulan jalan bus tidak bisa bergerak laju, karena kondisi jalannya yang sempit dan sebagian rusak.
Tahun 1990, barulah di bangun jembatan rangka baja di Sungai Rantau Panjang, selesai tahun 1991. Tahun 1991/1992 membangun jembatan Teluk Melano, selesai tahun 1993.
Tahun 1991, jaringan listrik (PLN) mulai masuk Rantau Panjang. Secara bertahap, rumah warga yang sebelumnya menggunakan pelita, lentera atau petromaks, berubah dengan cahaya dari mesin PLN Ketapang.
Tahun 1993/1994, ruas jalan provinsi, khususnya dari Sukadana – Teluk Batang di bangun pemerintah. Terbangunya jalan ini, membuat hubungan ke Teluk Batang dan Ketapang semakin lancar. Sebelumnya, pergi Ketapang dengan menggunakan sepeda, memakan waktu berhari-hari. Sekarang, bersepeda 1 hari bisa sampai.
Sekitar 1994/1995, jaringan air bersih di Rantau Panjang mulai di bangun. Dengan sumber air dari Lubuk Tapah – Mentubang, Desa Harapan Mulia. Sejak itu, kebutuhan air bersih Rantau Panjang terpenuhi. Setiap bulan warga bersedia membayar tagihan penggunaan air ke PDAM Ketapang, sesuai kilo meter pemakaiannya. Namun, sejak 2005 hingga sekarang, leding Rantau Panjang mulai macet. Penagihan dari PDAM pun padam.
Sekitar 1997, warga Parit Timur dan warga Rantau Panjang lainnya, membuka lahan perladangan baru di Sebarat. Awalnya, mereka menuju ke Sebarat melalui jalur sungai (Rantau Panjang). Menggunakan sampan atau motor air. Jika menggunakan sampan, memakan waktu sekitar 1 hari. Muncul ide membangun jalan, untuk memperpendek jarak tempuh, dan menghemat waktu.
Mulailah warga bergotong royong membangun jalan menuju ke Sebarat, menyambung ujung Jalan Parit Timur. Sayang, ada beberapa titik jalan tersebut sulit dibangun sempurna. Sebab, hasil galiannya bukan tanah, tapi tumpukan bahan organik/gambut. Sehingga warga harus memasang alas kayu untuk berpijak.
Sempat bertahun-tahun warga berladang di Sebarat. Hasil panen padinya lumayan banyak, sebagai persedian pangan bagi masyarakat. Karena sering dilanda banjir, membuat warga enggan melanjutkan beladang di Sebarat. Mereka mencari tempat perladangan baru yang aman.
Antara 1997 – 2001, jika warga ingin ke Sebarat, melalui ujung Jalan Parit Timur – Tersier 9 sekarang. Saat ini, posisi Sebarat persis di ujung Tersier 8. Artinya, rintisan warga menuju Sebarat dulu, serong ke arah tenggara.
Ketika Abu menjadi Kepala Desa priode pertama, Sekretaris Desa dijabat oleh Beransyah. Memasuki pemilihan kepala desa priode kedua, Beransyah menjadi rival Abu Kasim Bar dalam pemilihan tersebut. Alhasil, Abu Kasim Bar terpilih kembali menjadi Kepala Desa Rantau Panjang Priode 1990 – 1998. Sedangkan Beransyah, pensiun dari jabatan perangkat desa.
Di priode kedua kepemimpinan Abu Kasim Bar, yang menjadi Sekretaris Desa ialah Hamsyah Syahran. Sedangkan jumlah dusun, RT dan RW tidak berubah. Yang berubah, jabatan aparatur yang menempati jabatan yang ada.
Abu Kasim Bar terkenal dengan ketegasannya dalam memimpin. Dia termasuk pemimpin yang disegani di Kabupaten Katapang ketika itu. Seorang orator hebat, yang mampu membuat audien terkesima mendengarnya.
Karena usia dan dibatasi Undang-Udang, tahun 1998 dia mengakhiri priode kepemimpinannya di Rantau Panjang. Saat itu, priode kepemimpinan kepala desa tidak boleh lebih dari 2 priode. Dan dia menjadi kepala desa selama 16 tahun, dari 1982 – 1998.

8. Hamsyah Syahran
Berbekalan pengalamannya sebagai sekretaris desa. Kemudian, karena tingginya dorongan masyarakat dan kelompok pemuda kepadanya. Tahun 1998, Hamsyah Syahran pun maju, mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Desa Rantau Panjang Priode 1998 – 2006.
Haji Alhusaini bin Abu Kasim Bar bin Bujang Ramli, merupa rival (lawan politik) Hamsyah dalam pilkades masa itu. Pertarungan 2 saudara sepupu dan putra terbaik Rantau Panjang ini, dimenangkan Hamsyah Syahran .
Tahun ini, tepatnya Mei 1998, merupakan togak sejarah baru bagi Indonesia. Gelombang gerakan mahasiswa di Indonesia bergelora, menyuarakan reformasi. Tuntuntannya, menurunkan Presiden Soeharto, mengahapuskan Korupsi, Kolusi dan Nipotisme (KKN), serta tuntutan lainnya.
Sebelumnya, tahun 1997 terjadi krisis moneter nasional. Lapangan pekerjaan susah, PHK dan pengangguran dimana-mana. Daya beli masyarakat menurun. Kondisi inilah mendorong mahasiswa melakukan demontrasi besar-besar 1998, menuntut lengsernya Soeharto.
Gerakan reformasi mahasiswa tersebut, berdampak langsung kepada gerakan-gerakan yang ada di pelosok tanah air. Termasuk berpengaruh terhadap perhelatan Pemilihan Kepela Desa (Pilkades) Rantau Panjang 1998 – 2006.
Setelah terpilih, Hamsyah langsung membentuk perangkat kerja Pemerintah Desa Rantau Panjang. Pada priode ini, jumlah dusun, RT dan RW tidak berubah. Kemudian dia menunjuk pembantu utamanya – Akhyani sebagai Sekretaris Desa.
Di tahun kedua kepemimpinan Hamsyah, tepatnya tahun 2000, terjadi bencana puting beliung di Dusun Makmur (Parit Timur). Belasan rumah warga rusak ringan dan sedang. Menyikapi ini, Hamsyah mengusulkan bantuan ke Dinas Sosial Ketapang. Hasilnya, bantuan untuk korban bencana puting beliung pun dikucurkan dinas.
Kemudian Hamsyah mengagas pengusulan pembangunan kawasan transmigrasi. Ide ini telah ada pada masa kepemimpinan Abu Kasim Bar. Namun, hingga akhir jabatan Abu Kasim, keinginannya belum terwujud.
Untuk mendukung pembangunan kawasan transmigrasi tersebut, segala persyaratannya harus dilengkapi. Mulailah pemerintah desa melakukan sosialisasi kepada warga. Meminta dukungan tertulis, dan meminta agar warga menyerehkan tanahnya secara sukarela. Khususnya warga yang memiliki tanah di ujung wilayah Dusun Makmur dan Dusun Ampera.
Setelah kelengkapan administrasi terpenuhi, disampaikan ke Dinas Transmigrasi Ketapang. Kemudian dinas menindaklanjuti ke departemen yang membindangi transmigrasi. Hasilnya, tahun 2002, Bupati Ketapang Haji Morkes Effendi secara simbolik resmi membuka pembangunan Kawasan Transmigrasi S.P. 1 Rantau Panjang.
Tahun 2003, rombong tahap 1 transmigras asal Jawa Tengah mulai datang, menempati Tersier 8, 9 dan 10. Kemudian menyusul pada tahun berikutnya, mengisi mulai dari Tersier 1 – 3 A/B, serta Tersier 4, 5, 6 dan 7.
Selain Transmigrasi Penduduk Asal (TPA) dari Jawa, sekitar 40% disisipkan Transmigrasi Penduduk Setempat (TPS). Dengan demikian, pembauran antar etnis dn latar belakang yang berbeda, menghasilkan kebudayaan dan pengalaman baru bagi TPA dan TPS. Jumlah total transmigras S.P. 1 yaitu 430 KK.
Tahun 2006, Desa Rantau Panjang kembali akan menggelar Pilkades. Mengingat masa jabatan Hamsyah 1998 – 2006 (8 tahun) akan berakhir. Setelah panitia melakukan penjaringan dan penyaringan calon, hasilnya diumumkan 4 calon yang akan bertarung di Pilkades 2006 – 2012.
Nama-nama Calon Kepala Desa Priode 2006 – 2012 yaitu Hamsyah Syahran, Hasanan, Muhammad Fathoni dan A. Japar. Hasil pemilihan, Hamsyah (petahana) sebagai juara pertama (pemenang). Kemudian menyusul Hasanan, Muhammad Fathoni dan terakhir A. Japar.
Di priode kedua ini, masa jabatan Hamsyah tidak 8 tahun lagi, tapi hanya 6 tahun saja. Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Setelah dilantik menjadi Kepala Desa Rantau Panjang priode kedua, kembali Hamsyah mengusulkan pembangunan kawasan transmigrasi di Rantau Panjang. Daerah yang disulkan, yaitu wilayah pedalaman Dusun Ampera, berbatasan dengan Transmigrasi S.P. 1. Sekarang, kawasan tersebut mekar dari Dusun Ampera, menjadi Dusun Siput Lestari.
Di bangun tahun 2007, tahun 2008 rombongan TPA asal Jawa pun datang dan menempati Kawasan Transmigrasi S.P. 2 Rantau Panjang. Selain TPA, di bangun dan ditempatkan pula TPS, yang terletak di jalur Jalan Ampera dan Jalan Subsidi. Jumlah total transmigrasi S.P. 2 yaitu 150 KK.
Tahun 2008, terjadi bencana banjir besar di Rantau Panjang. Banjir ini disebabkan meluapnya air laut secara tiba-tiba. Sebelumnya, bencana ini tidak pernah terjadi Rantau Panjang. Keadaan ini membuat masyarakat Rantau Panjang khawatir. Banyak rumah yang terendam banjir. Pakaian, bahan makanan dan tempat tidur teredam air pasang laut.
Karena luas pemukiman dan jumlah penduduk Rantau Panjang bertambah, tahun 2008 Hamsyah memekarkan dusun dan RT. Semula jumlah dusun hanya 4, berubah menjadi 8. Jumlah RT hanya 12, berubah menjadi 32. Jumlah RW awalnya 4, berubah menjadi 8.
Sebelumnya, tersier 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, tersier 4, 5, 6 dan 7, serta kawan S,P. 2 menjadi bagian dari Dusun Ampera. Kemudian S.P. 2 dimekarkan menjadi Dusun Siput Lestari. Tersier 1 – 3 A/B mekar jadi Dusun Sinar Selatan. Tersier 4, 5, 6 dan 7 mekar jadi Dusun Kebal Manuk. Sedangkan tersier 8, 9 dan 10 awalnya bagian dari kawasan Dusun Makmur, mekar menjadi Dusun Sinar Palung.
Dusun Sinar Palung terdiri dari 5 RT, yaitu RT 13, 14, 15,16 dan 17. Dusun Kebal Manuk terdiri dari 5 RT, yaitu RT 18, 19, 20, 21 dan 22. Dusun Sinar Selatan terbagi 6 RT, yaitu RT 23, 24, 25, 26, 27 dan 28. Dusun Siput Letari terbagi 4 RT, yaitu RT 29, 30, 31 dan 32.
Selain sebagai pioner pembangunan transmigrasi, Hamsyah juga banyak melakukan gagasan pembangunan lainnya. Prinsipnya, membangun kampung halaman adalah amanah besar yang harus diwujudkan. Hingga akhir masa jabatannya (2012), Hamsyah tetap melakukan ihktiar untuk membangun tumpah darahnya.

9. Sarkandi
Meniti karir dari Ketua RT di Tersier 6. Kemudian di priode kedua kepemimpinan Hamsyah, Sarkandi dipercaya menjadi Kepala Dusun Kebal Manuk pertama. Ketika masa bhakti Hamsyah berakhir 2012, Sarkandi mencoba mengadu nasib, mencalonkan diri menjadi Calon Kepala Desa 2012 – 2018.
Yang bertarung dalam Pilkades 2012 – 2018 yaitu Rasemi, Abdul Raini, Sarkandi, Mat Jani, Nasir dan Zulkarnaen. Dengan mengungguli 40-an suara dari pesaing keduanya Mat Jani, Sarkandi ditetapkan sebagai pemenang Pilkades. Selanjutnya, yang menempati urutan berikutnya Nasir, Rasemi, Abdul Raini dan Zulkarnaen.
September 2012, Sarkandi dan kepala desa lainnya dilantik oleh Hildi Hamid – Bupati Kayong Utara. Selesai dilantik, Sarkandi segera masuk kantor. Membenahi dan menata perangkat kerja desa, untuk mendukung rencana kerjanya.
Sekitar 2017, Sarkandi merampingkan jumlah RT yang semulanya 32 menjadi 23. Perampingan ini sangat beralasan. Sebab ada beberapa tersier yang dulunya ramai berpenghuni, sekarang tinggal 1 atau 2 KK saja. Bahkan ada yang kosong sama sekali.
Sekitar Mei 2018, Sarkandi resmi mengundurkan diri dari Kepala Desa Rantau Panjang. Pengunduran dirinya, karena ikut sebagai bakal calon/calon legislatif dari partai tertentu. Oleh Dinas P3AMPD Kayong Utara, dia masih dibenarkan menjabat hingga terbit Surat Keputusan Bupati tentang Penjabat Kepala Desa.
Pada tanggal 31 Agustus 2018, Moh. Sari’ian ditetapkan menjadi Penjabat Kepala Desa Rantau Panjang 2018 oleh H. Syarif Yusniarsyah, Pejabat Bupati Kayong Utara 2018, dan berakhir hingga kades terpilih dilantik/ditetapkan bupati. Artinya, tahta kepemimpinan Sarkandi resmi berakhir.

10. Hasanan
Senin, 8 Oktober 2018, diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa Priode 2018 – 2024. Kompetitor yang berlaga dalam Pilkades tersebut yaitu Hamsyah Syahran, Zainal Arifin, Hasanan dan Indriyadi.
Hasil rekapitulasi Panitia Pemungutan Suara (PPS), memutuskan hasil kompetisi Pilkades, Hasanan sebagai peringkat pertama. Hamsyah Syahran sebagai peringkat kedua. Indriyadi sebagai peringkat ketiga, dan Zainal Arifin sebagai peringkat keempat perolehan suara Pilkades 2018 – 2024.
Pada tanggal 15 Desember 2018, betempat di Istana Rakyat, Drs. Citra Duani – Bupati Kayong Utara melantik 16 kepala kesa terpilih se- Kayong Utara. Salah satunya adalah Hasanan, Kepala Desa Rantau Panjang 2018 – 2024.
Hasanan menjadi pemimpin ke- 10 Rantau Panjang, sejak Rantau Panjang resmi dipimpin oleh seorang pemimpin. Terhitung dari pemimpin pertama Rantau Panjang yang bergelar Dokuh, yaitu Abu Kasim alias Endut (1912 – 1942).
Jadi, usia kepemimpinan Rantau Panjang sekitar 107 tahun, yaitu dari 1912 – 2019. Sedangkan usia kampong (desa), jika dihitung mulai dari Terus Jawe dan sekitarnya, sekitar 295 tahun (1724 – 2019). Resmi disebut kampong, yaitu Kampong Sungai Bagan atau Tembok Baru, usianya 197 tahun (1822 – 2019). (Has)
Catatan: Masih perlu perbaikan dan riset ulang.


Share:

Sponsor

Berita Populer

PEMERINTAH DESA RANTAU PANJANG. Diberdayakan oleh Blogger.

Categories

Blog Archive

Recent Posts

Unordered List

  • #
  • #
  • #

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.